Beranda » Articles posted by Setiadi Wira Buana

Author Archives: Setiadi Wira Buana

RSS DIKTI

  • Sebuah galat telah terjadi; umpan tersebut kemungkinan sedang anjlok. Coba lagi nanti.

INTEGRATED LEARNING (PEMBELAJARAN TERPADU)

Banyak ditemukan dalam proses pembelajaran di sekolah-sekolah, khususnya Sekolah Dasar, guru terlihat aktif berceramah sementara siswa hanya mendengarkan dan mencatat dari papan tulis. Guru belum berupaya maksimal untuk meningkatkan kualitas dan efektifitas pembelajaran di sekolah untuk memperoleh pembelajaran yang maksimal dan bermakna.

Oleh karena itu, disini guru dituntut untuk mengembangakan kegiatan pembelajaran dengan berbagai model dan metode pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir siswa.

Pemilihan model pembelajaran yang akan digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran khususnya di Sekolah Dasar sangat penting. Salah satunya adalah model pembelajaran terpadu (integrated). Disini guru harus mampu menerapkan model pembelajaran terpadu tersebut sesuai dengan karakteristik siswa Sekolah Dasar (SD).

Pengertian Pembelajaran Terpadu

Pembelajaran terpadu merupakan suatu model pembelajaran yang mencoba memadukan beberapa pokok bahasan. Salah satu diantaranya adalah memadukan pokok bahasan atau sub pokok bahasan atau bidang studi, keterangan seperti ini disebut juga dengan kurikulum (DEPDIKBUD, 1990: 3), atau pengajaran lintas bidang studi (Maryanto, 1994: 3).

Secara umum pembelajaran terpadu pada prinsipnya terfokus pada pengembangan perkembangan kemampuat siswa secara optimal, oleh karena itu dibutuhkan peran aktif siswa dalam proses pembelajaran. Melalui pembelajaran terpadu siswa dapat pengalaman langsung dalam proses belajarnya, hal ini dapat menambah daya kemampuan siswa semakin kuat tentang hal-hal yang dipelajarinya.

Pembelajaran terpadu juga suatu model pembelajaran yang dapat dikatakan sebagai pendekatan pembelajaran yang melibatkan beberapa bidang studi untuk memberikan pengalaman yang bermakna kepada siswa. Dikatakan bermakna pada pembelajaran terpadu artinya, siswa akan memahami konsep-konep yang mereka pelajari itu melalui pengalaman langsung dan menghubungkan dengan konsep yang lain yang sudah mereka pahami.

Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Tim Pengembang D-2 PGSD dan S-2 Pendidikan Dasar (1997 : 17) yang mengatakan bahwa “ pembelajaran terpadu adalah suatu pendekatan belajar mengajar yang melibatkan beberapa bidang studi untuk memberikan pengalaman bermakna kepada siswa”.

Pada dasarnya pembelajaran terpadu merupakan suatu sistem pembelajaran yang memungkinkan siswa baik individu maupun kelompok aktif mencari, menggali dan menemukan konsep serta prinsip keilmuan secara holistik, bermakna dan otentik. Adapun Pengertian Integrated Learning (Pembelajaran Terpadu) menurut beberapa pakar pembelajaran terpadu:

  • Menurut Atkinson (1989) :

Pembelajaran terpadu merupakan suatu aplikasi salah satu startegi pembelajaran berdasarkan pendekatan kurikulum terpadu yang bertujuan untuk menciptakan atau membuat proses pembelajaran secara relevan dan bermakna bagi anak. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam pembelajaran terpadu didasarkan pada pendekatan inquiry, yaitu melibatkan siswa mulai dari merencanakan, mengeksplorasi, dan brain storming dari siswa. Dengan pendekatan terpadu siswa didorong untuk berani bekerja secara kelompok dan belajar dari hasil pengalamannya sendiri.

  • Menurut Collins dan Dixon (1991) :

Menyatakan tentang pembelajaran terpadu sebagai berikut: integrated learning occurs when an authentic event or exploration of a topic in the driving force in the curriculum. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam pelaksanaannya anak dapat diajak berpartisipasi aktif dalam mengeksplorasi topik atau kejadian, siswa belajar proses dan isi (materi) lebih dari satu bidang studi pada waktu yang sama.

  • Menurut Cohen dan Manion (1992) dan Brand (1991) :

Terdapat tiga kemungkinan variasi pembelajaran terpadu yang berkenaan dengan pendidikan yang dilaksanakan dalam suasana pendidikan progresif yaitu kurikulum terpadu (integrated curriculum), hari terpadu (integrated day), dan pembelajaran terpadu (integrated learning). Kurikulum terpadu adalah kegiatan menata keterpaduan berbagai materi mata pelajaran melalui suatu tema lintas bidang membentuk suatu keseluruhan yang bermakna sehingga batas antara berbagai bidang studi tidaklah ketat atau boleh dikatakan tidak ada. Hari terpadu berupa perancangan kegiatan siswa dari sesuatu kelas pada hari tertentu untuk mempelajari atau mengerjakan berbagai kegiatan sesuai dengan minat mereka. Sementara itu, pembelajaran terpadu menunjuk pada kegiatan belajar yang terorganisasikan secara lebih terstruktur yang bertolak pada tema-tema tertentu atau pelajaran tertentu sebagai titik pusatnya (center core / center of interest).

  • Menurut Prabowo (2000) :

Pembelajaran terpadu merupakan pendekatan belajar mengajar yang melibatkan beberapa bidang studi. Pendekatan belajar mengajar seperti ini diharapkan akan dapat memberikan pengalaman yang bermakna kepada anak didik kita. Arti bermakna disini dikarenakan dalam pembelajaran terpadu diharapkan anak akan memperoleh pemahaman terhadap konsep-konsep yang mereka pelajari dengan melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah mereka pahami.

Berdasarkan uraian di atas maka pembelajaran terpadu sebagai berikut:

  1. Pembelajaran dari suatu tema tertentu sebagai pusat perhatian yang digunakan untuk memahami gejala-gejala dan konsep lain baik berasal dari bidang studi yang bersangkutan ataupun lainnya.
  2. Suatu pendekatan pembelajaran yang menghubungkan berbagai bidang studi yang mencerminkan dunia nyata disekeliling dan dalam rentang kemampuan dan perkembangan anak.
  3. Suatu cara untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan anak secara simultan.
  4. Menggabungkan sebuah konsep dalam beberapa bidang studi yang berbeda dengan harapan anak akan belajar dengan lebih baik dan bermakna.

Karakteristik Pembelajaran Terpadu

Pembelajaran terpadu memiliki beberapa macam karakteristik, seperti menurut Hilda Karli (2003: 53) mengungkapkan bahwa:

Pembelajaran terpadu memiliki beberapa macam karakteristik, diantaranya:

  1. Berpusat pada anak (studend centerd).
  2. Memberi pengalaman langsung pada anak.
  3. Pemisahan antara bidang studi tidak begitu jelas.
  4. Menyajikan konsep dari berbagai bidang studi dalam suatu proses pembelajaran.
  5. Bersipat luwes.
  6. Hasil pembelajaran dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan anak.
  7. Holistik, artinya suatu peristiwa yang menjadi pusat perhatian dalam pembelajaran terpadu di amati dan di kaji dari beberapa mata pelajaran sekaligus, tidak dari sudut pandang yang terkotak-kotak.
  8. Bermakna, artinya pengkajian suatu penomena dari berbagai macam aspek memungkinkan terbentuknya semacam jalinan skemata yang dimiliki siswa.
  9. Otentik, artinya informasi dan pengetahuan yang diperoleh sipatnya menjadi otentik.
  10. Aktif, artinya siswa perlu terlibat langsung dalam proses pembelajaran mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga proses evaluasi.

Wujud lain dari implementasi terpadu yang bertolak pada tema, yakni kegiatan pembelajaran yang dikenal dengan berbagai nama seperti pembelajaran proyek, pembelakaran unit, pembelajaran tematik dan sebagainya.

 

 

Pembelajaran terpadu sangat memperhatikan kebutuhan anak sesuai dengan perkembangannya yang holistik dengan melibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran baik fisik maupun emosionalnya. Untuk itu aktivitas yang diberikan meliputi aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip keilmuan yang holistik, bermakna, dan otentik sehingga siswa dapat menerapkan perolehan belajar untuk memecahkan masalah-masalah yang nyata di dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan program DAP yang dikemukakan Bredekamp (1992:7) dalam Ahmad, pada proses pembelajaran hendaknya menyediakan berbagai aktivitas dan bahan-bahan yang kaya serta menawarkan pilihan bagi siswa sehingga siswa dapat memilihnya untuk kegiatan kelompok kecil maupun mandiri dan memberikan kesempatan bagi siswa untuk berinisiatif sendiri, melakukan keterampilan atas prakarsa sendiri sebagai aktivitas yang dipilihnya.  Pembelajaran terpadu juga menekankan integrasi berbagai aktivitas untuk mengeksplorasi objek, topik, atau tema yang merupakan kejadian-kejadian, fakta, dan peristiwa yang otentik. Pelaksanaan pembelajaran terpadu pada dasarnya agar kurikulum itu bermakna bagi anak. Hal ini dimaksudkan agar bahan ajar tidak digunakan secara terpisah-pisah, tetapi merupakan suatu kesatuan bahan yang utuh dan cara belajar yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan siswa.

Pemanasan Global Terhadap Kehidupan Lingkungan Hidup dan Sosial

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah

            Komposisi kimiawi dari atmosfer sedang mengalami peubahan sejalan dengan penambahan gas rumah kaca, terutama karbon dioksida, metan dan asam nitrat. Khasiat menyaring panas dari gas tersebut tidak berfungsi. Energi dari matahari memacu cuaca dan iklim bumi serta memanasi permukaan bumi, sebaliknya bumi mengembalikan energi tersebut ke angkasa. Gas rumah kaca pada atmsfer (uap air, karbon dioksida dan gas lainnya) menyaring sejumlah energi yang dipancarkan, menahan panas seperti rumah kaca. Tanpa efek rumah kaca natural ini maka suhu akan lebih rendah dari yang ada sekarang dan kehidupan seperti ini tidak mungkin ada. Jadi gas rumah kaca menyebabkan suhu udara di permukaan bumi menjadi lebih nyaman sekitar 60oF/15oC.

            Tetapi permasalahan akan muncul ketika terjadi konsentrasi gas rumah kaca pada atmosfer bertambah. Sejak awal revolusi industri, konsentrasi karbon dioksida pada atmosfer bertambah mendekati 30%, konsentrasi metan lebih dari dua kali, dan konsentrasi asam nitrat bertambah 15%.

            Perubahan iklim merupakan tantangan yang paling serius dihadapi dunia di abad 21. Sejumlah bukti baru dan kuat yang muncul dalam studi muktakhir memperlihatkan bahwa masalah pemanasan yang terjadi 50 tahun terakhir disebabkan oleh tindakan manusia.

            Pemanasan global terjadi ketika ada konsentrasi gas-gas tertentu yang dikenal dengan gas rumah kaca, yang terus bertambah di udara. Hal tersebut disebabkan oleh tindakan manusia, kegiatan industri, khususnya CO2 dan Chlorofluorocarbon (CFC). Yang terutama adalah karbo dioksida, yang umumnya dihasilkan oleh pengguna batubara, minyak bumi, gas dan penggundulan hutan serta pembakaran hutan. Asam nitrat dihasilkan oleh kendaraan dan emisi industri, sedangkan emisi metan disebabkan oleh aktivitas industri dan petanian. Chrolofluorcarbon (CFC) merusak lapisan ozon seperti juga gas rumah kaca menyebabkan pemanasan global.

  1. Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:

  • Agar menciptakan kepedulian yang lebih terhadap lingkungan sehingga bisa meminimalkan adanya pemanasan global.
  • Mengetahui bahaya dari adanya Pemanasan Global.
  • Dapat melakukan hal-hal yang bisa bermanfaat dan tidak merusak lingkungan.
  • Cinta terhadap lingkungan.
  • Bertanggung jawab dan ikut serta melestarkan atau mencegah pemanasan global dengan hal-hal yang dapat dikerjakan seperti penanaman pohon,dll.

  1. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, permasalahan yang diangkat adalah :

  1. Arti penting dari pemanasan Global
  2. Hal yang mengakibatkan terjadinya pemanasan Global
  3. Dampak terhadap lingkungan hidup dan social dengan adanya pemanasan global

 

 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kajian Teori

Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global – termasuk Indonesia – yang terjadi pada kisaran 1,5–40 Celcius pada akhir abad 21.

Terlebih lagi saat ini manusia tidak sadar akan kelestarian hidup lingkungannya sehingga banyak para oknum-oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab yang mengekploitasi hutan di Kalimantan juga Sulawesi untuk kepentingan pribadi atau di ekspor ke luar negeri untuk diolah menjadi furniture/perlengkapan rumah tangga yang di impor kembali ke negara kita dengan harga yang jauh lebih mahal. Selain itu banyak berdirinya pusat perbelanjaan, pabrik-pabrik dan apartement di pusat kota Jakarta yang menghilangkan lahan yang berfungsi sebagai daerah serapan air sehingga pada saat musin hujan tiba, kota ini selalu dilanda banjir.

Gbr.1 Gas Rumah Kaca

Kenaikan suhu bumi ini dapat berpengaruh pada perubahan iklim bumi. Beberapa tahun terakhir ini bumi mengalami musim kemarau yang lebih panjang dari musim hujan. Namun ketika musim penghujan tiba, intensitas curah hujan semakin tinggi dan terjadi banjir di beberapa daerah di nusantara, hal ini di dukung dengan hilangnya hutan kota dan hutan di sekitar daerah puncak.

Pemanasan global bisa dirasakan dalam 10 kejadian berikut ini :

  • Kebakaran hutan besar-besaran

Bukan hanya di Indonesia, sejumlah hutan di Amerika Serikat juga ikut terbakar ludes. Dalam beberapa dekade ini, kebakaran hutan meluluhlantakan lebih banyak area dalam tempo yang lebih lama juga. Ilmuwan mengaitkan kebakaran yang merajalela ini dengan temperatur yang kian panas dan salju yang meleleh lebih cepat. Musim semi datang lebih awal sehingga salju meleleh lebih awal juga. Area hutan lebih kering dari biasanya dan lebih mudah terbakar.

  • Situs purbakala cepat rusak

Akibat alam yang tak bersahabat, sejumlah kuil, situs bersejarah, candi dan artefak lain lebih cepat rusak dibandingkan beberapa waktu silam. banjir, suhu yang ekstrim dan pasang laut menyebabkan itu semua. Situs bersejarah berusia 600 tahun di Thailand, Sukhotai, sudah rusak akibat banjir besar belum lama ini.

  • Ketinggian gunung berkurang

Tanpa disadari banyak orang, pegunungan Alpen mengalami penyusutan ketinggian. Ini diakibatkan melelehnya es di puncaknya. Selama ratusan tahun, bobot lapisan es telah mendorong permukaan bumi akibat tekanannya. Saat lapisan es meleleh, bobot ini terangkat dan permukaan perlahan terangkat kembali.

  • Satelit bergerak lebih cepat

Emisi karbon dioksida membuat planet lebih cepat panas, bahkan berimbas ke ruang angkasa. Udara di bagian terluat atmosfer sangat tipis, tapi dengan jumah karbondioksida yang bertambah, maka molekul di atmosfer bagian atas menyatu lebih lambat dan cenderung memancarkan energi, dan mendinginkan udara sekitarnya. Makin banyak karbondioksida di atas sana, maka atmosfer menciptakan lebih banyak dorongan, dan satelit bergerak lebih cepat.

  • Hanya yang Terkuat yang Bertahan

Akibat musim yang kian tak menentu, maka hanya mahluk hidup yang kuatlah yang bisa bertahan hidup. Misalnya, tanaman berbunga lebih cepat tahun ini, maka migrasi sejumlah hewan lebih cepat terjadi. Mereka yang bergerak lambat akan kehilangan makanan, sementar mereka yang lebih tangkas, bisa bertahan hidup. Hal serupa berlaku bagi semua mahluk hidup termasuk manusia.

  • Pelelehan Besar-besaran

Bukan hanya temperatur planet yang memicu pelelehan gununges, tapi juga semua lapisan tanah yang selama ini membeku. Pelelehan ini memicu dasar tanah mengkerut tak menentu sehingga menimbulkan lubang-lubang dan merusak struktur seperti jalur kereta api, jalan raya, dan rumah-rumah. Imbas dari ketidakstabilan ini pada dataran tinggi seperti pegunungan bahkan bisa menyebabkan keruntuhan batuan.

  • Keganjilan di Daerah Kutub

Hilangnya 125 danau di Kutub Utara beberapa dekade silam memunculkan ide bahwa pemanasan global terjadi lebih “heboh” di daerah kutub.Riset di sekitar sumber airyang hilang tersebut memperlihatkan kemungkinan mencairnya bagian beku dasar bumi.

  • Mekarnya Tumbuhan di Kutub Utara

Saat pelelehan Kutub Utara memicu problem pada tanaman danhewan di dataran yang lebih rendah, tercipta pula situasi yang sama dengan saatmatahari terbenam pada biota Kutub Utara. Tanaman di situ yang dulu terperangkap dalam es kini tidak lagi dan mulai tumbuh. Ilmuwan menemukan terjadinya peningkatan pembentukan fotosintesis di sejumlah tanah sekitar dibanding dengan tanah di era purba.

  • Habitat Makhluk Hidup Pindah ke Dataran Lebih Tinggi

Sejak awal dekade 1900-an, manusia harus mendaki lebihtinggi demi menemukan tupai, berang-berang atau tikus hutan. Ilmuwan menemukan bahwa hewan-hewan ini telah pindah ke dataran lebih tinggi akibat pemanasan global. Perpindahan habitat ini mengancam habitat beruang kutub juga, sebab es tempat dimana mereka tinggal juga mencair.

  • Peningkatan Kasus Alergi

Sering mengalami serangan bersin-bersin dan gatal di matasaat musim semi, maka salahkanlah pemanasan global. Beberapa dekade terakhir kasus alergi dan asma di kalangan orang Amerika alami peningkatan. Pola hidupdan polusi dianggap pemicunya. Studi para ilmuwan memperlihatkan bahwa tingginya level karbondioksida dan temperatur belakangan inilah pemicunya. Kondisi tersebut juga membuat tanaman mekar lebih awal dan memproduksi lebih banyak serbuk sari.

 BAB III

PEMBAHASAN

A.Pengertian Global warming

Global warming adalah peningkatan suhu rata-rata atmosfer bumi (terutama yang mengalami kenaikan suhu yang menyebabkan perubahan iklim). Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global – termasuk Indonesia – yang terjadi pada kisaran 1,5–40 Celcius pada akhir abad 21.

Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap permukiman penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dsb). Dalam makalah ini, fokus diberikan pada antisipasi terhadap dua dampak pemanasan global, yakni : kenaikan muka air laut (sea level rise) dan banjir.

B.Penyebab Terjadinya Pemanasan Global

Penyebab terjadinya global warming yaitu gas rumah kaca.

  • Radiasi matahari menembus atmosfer bumi yang bersih.
  • Beberapa radiasi matahari dipantulkan kembali oleh atmosfer dan daratan bumi.
  • Radiasi yang diserap oleh permukaan bumi menjadi panas meyebabkan emisi longwave (inframerah) dipantulkan ke atmosfer.
  • Beberapa dari radiasi inframerah yang tidak diserap atmosfer dipantulkan kembali ke bumi.
  • Beberapa radiasi inframerah yang dipantulkan, kembali ke atmosfer dan hilang di luar angkasa.

Untuk lebih jelasnya, bisa dilihat ilustrasi dibawah ini

Gbr.2 Siklus Gas Rumah Kaca

Penyebab efek rumah kaca terjadi yaitu karena penggunaan kendaraan yang kurang bijaksana yang mengakibatkan polusi udara semakin meningkat secara drastis, menimbulkan karbon dioksida yang berlebihan sehingga cahaya matahari yang masuk ke bumi dan dipantulkan lagi tidak dapat menembus atmosfer bumi karena terhalang oleh karbon dioksida yang ditimbulkan dari polusi udara tersebut sehingga akan terasa lebih hangat.

Kenaikan suhu bumi ini dapat berpengaruh pada perubahan iklim bumi. Beberapa tahun terakhir ini bumi mengalami musim kemarau yang lebih panjang dari musim hujan. Namun ketika musim hujan tiba, intensitas curah hujan semakin tinggi dan terjadi banjir di beberapa daerah nusantara.

C.Dampak Pemanasan Global

Perubahan cuaca yang ekstrem inilah yang dapat menggaggu kehidupan di bumi baik kehidupan manusia maupun ekologi yang berada di bumi. Hewan-hewan mungkin akan mencari habitat baru dan mulai beradaptasi kembali dengan lingkungan barunya sedangkan tumbuhan akan mengubah sistem pertumbuhannya dan mencari temapta baru bagi populasinya. Mereka yang tidak dapat mencari habitat baru maka akan mengalami seleksi alam yang berakibat akan punahnya spesies-spesies tumbuhan dan hewan karena semua lahan kini telah dikuasai oleh manusia.

Sedangkan pada sektor sosial, pemanasan global mempunyai andil besar karena perubahan iklim yang sangat ekstrem maka akan timbul berbagai penyakit, terutama penyakit kulit dan kelaparan serta malnutrisi karena musim panas yang berkepanjangan akan mengakibatkan gagal panen pada sektor pertanian. Selain kelaparan berbagai jenis penyakit menular akan cepat berkembangbiak dikarenakan munculnya lingkungan baru bagi pertumbuhan virus dan nyamuk demam berdarah. Tidak hanya itu, tingginya tingkat polusi udara dan pencemaran lingkungan oleh limbah menybabkan berbagai penyakit pernapasan seperti asma, alergi, penyakit jantung dan paru kronis.

Pemanasan global juga berpengaruh pada kelestarian air dunia. Karena suhu bumi yang meningkat maka banyak sumber-sumber air yang mengering sehingga masyarakat akan semakin sulit untuk mendapatkan air bersih terutama di Jakarta. Sulitnya mendapatkan air bersih membuat masyarakat terdesak pada penyakit-penyakit kulit dan diare sehingga warga miskin akan banyak yang kehilangan nyawanya, karena dampak dari pemanasan global terasa lebih besar bagi mereka yang hidup di sekitar bantaran sungai dan tergolong ekonomi rendah.

Selain berdampak pada masalah kesehatan, pemanasan global ini juga memiliki pengaruh terhadap perkembangan sosial-ekonomi Indonesia. Karena kenaikan suhu bumi sebagian hutan Indonesia menjadi kering dan mudah terbakar, belum lagi pembakaran lahan gambut yang diubah menjadi pemukiman atau lahan indusri. Dikarenakan hal ini Indonesia menjadi negara terbesar ketiga sebagai penyumbang gas rumah kaca. Oleh karena itu, usaha pemerintah untuk mengurangi polusi dan  gas rumah kaca tidak akan mampu apabila tidak didukung oleh kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian lingkungan. Saat ini sudah banyak LSM dan elemen-elemen masyarakat yang menyuarakan tentang masalah GoGreen dan gaya hidup yang ramah lingkungan salah satunya adalah WALHI, organisasi yang berdiri dari reaksi keprihatinan atas ketidak adilan dalam mengelola SDA dan sumber kehidupan, dan masih banyak lagi lembaga-lembaga lain yang giat dalam menyuarakan kelestarian lingkungan. Selain banyaknya lembaga-lembaga yang bermunculan dampak positif dari pemanasan global ini adalah proses fotosintesis pada tumbuhan yang semakin produktif yang berdampak pada perbaikan pangan namun tidak berpengaruh secara signifikan karena begitu banyak dampak negatifnya.

Dari sekian banyak dampak yang disebabkan oleh pemanasan global, sudah selayaknya kita untuk lebih simpati terhadap lingkungan kita sebagai satu-satunya tempat dimana kita tinggal. Sesuatu yang dapat kita lakukan dapat berpengaruh banyak terhadap lingkungan adalah dengan adanya rasa kesadaran dalam diri kita akan kelestarian lingkungan dan didukung dengan usaha-usaha perbaikan, seperti; menggunakan listrik seperlunya, menghemat penggunaan alat elektronik, menanam pohon sebagai upaya penyerapan karbon dioksida, konservasi hutan, menggunakan plastik yang ramah lingkungan. Semua usaha ini memang terlihat sederhana namun apabila dilakukan secara global maka akan berdampak besar bagi kelangsungan bumi. Hal-hal ini memang perlu di lakukan oleh negara-negara agraris sebagai negara kepulauan juga negara berkembang seperti Indonesia, sebagai salah satu negara yang memiliki hutan tropis yang luas di dunia. Apabila hal-hal ini dapat dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan maka tidak mustahil bila bumi ini akan terasa lebih nyaman untuk dihuni oleh manusia dan gas rumah kaca akan ditekan seminim mungkin.

Dampak Kenaikan Permukaan Air Laut dan Banjir terhadap Kondisi Lingkungan Bio-geofisik dan Sosial-Ekonomi Masyarakat.

Kenaikan muka air laut secara umum akan mengakibatkan dampak sebagai berikut :

  1. meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir
  2. perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove
  3. meluasnya intrusi air laut
  4. ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir
  5. berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil.

Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya efek backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi. Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan.

  • Kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang pada saat ini saja kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi penurunan hutan mangrove ± 50% dari total luasan semula. Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka : abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya aquaculture pun akan terancam dengan sendirinya.
  • Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan pada periode antara 2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara.
  • Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah : (a) gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera ; (b) genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua ; (c) hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih ‘buram’ apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional, dan (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada pangan di Indonesia. Adapun daerah-daerah di Indonesia yang potensial terkena dampak kenaikan muka air laut diperlihatkan pada Gambar 1 berikut.
  • Terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan hilangnya pulau-pulau kecil yang dapat mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau, tergantung dari kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad 2100 lahan pesisir yang hilang mencapai 202.500 ha.
  • Bagi Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih diperparah dengan pengurangan luas hutan tropis yang cukup signifikan, baik akibat kebakaran maupun akibat penggundulan. Data yang dihimpun dari The Georgetown – International Environmental Law Review (1999) menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1997 – 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan akibat pengaruh El Nino. Bahkan WWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni antara 2 hingga 3,5 juta hektar pada periode yang sama. Apabila tidak diambil langkah-langkah yang tepat maka kerusakan hutan – khususnya yang berfungsi lindung – akan menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir , serta memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang.

Antisipasi Dampak Kenaikan Muka Air Laut dan Banjir melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

Dengan memperhatikan dampak pemanasan global yang memiliki skala nasional dan dimensi waktu yang berjangka panjang, maka keberadaan RTRWN menjadi sangat penting. Secara garis besar RTRWN yang telah ditetapkan aspek legalitasnya melalui PP No.47/1997 sebagai penjabaran pasal 20 dari UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang memuat arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang negara yang memperlihatkan adanya pola dan struktur wilayah nasional yang ingin dicapai pada masa yang akan datang.

Pola pemanfaatan ruang wilayah nasional memuat :

  1. arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan lindung (termasuk kawasan rawan bencana seperti kawasan rawan gelombang pasang dan banjir)
  2. arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan budidaya (hutan produksi, pertanian, pertambangan, pariwisata, permukiman, dsb).

Sementara struktur pemanfaatan ruang wilayah nasional mencakup

  1. arahan pengembangan sistem permukiman nasional
  2. arahan pengembangan sistem prasarana wilayah nasional (seperti jaringan transportasi, kelistrikan, sumber daya air, dan air baku.

Sesuai dengan dinamika pembangunan dan lingkungan strategis yang terus berubah, maka dirasakan adanya kebutuhan untuk mengkajiulang (review) materi pengaturan RTRWN (PP 47/1997) agar senantiasa dapat merespons isu-isu dan tuntutan pengembangan wilayah nasional ke depan. (mohon periksa Tabel 3 pada Lampiran). Oleh karenanya, pada saat ini Pemerintah tengah mengkajiulang RTRWN yang diselenggarakan dengan memperhatikan perubahan lingkungan strategis ataupun paradigma baru sebagai berikut :

  • globalisasi ekonomi dan implikasinya,
  • otonomi daerah dan implikasinya,
  • penanganan kawasan perbatasan antar negara dan sinkronisasinya,
  • pengembangan kemaritiman/sumber daya kelautan,
  • pengembangan kawasan tertinggal untuk pengentasan kemiskinan dan krisis ekonomi,
  • daur ulang hidrologi,
  • penanganan land subsidence,
  • pemanfaatan jalur ALKI untuk prosperity dan security, serta
  • pemanasan global dan berbagai dampaknya.

Dengan demikian, maka aspek kenaikan muka air laut dan banjir seyogyanya akan menjadi salah satu masukan yang signifikan bagi kebijakan dan strategi pengembangan wilayah nasional yang termuat didalam RTRWN khususnya bagi pengembangan kawasan pesisir mengingat : (a) besarnya konsentrasi penduduk yang menghuni kawasan pesisir khususnya pada kota-kota pantai, (b) besarnya potensi ekonomi yang dimiliki kawasan pesisir, (c) pemanfaatan ruang wilayah pesisir yang belum mencerminkan adanya sinergi antara kepentingan ekonomi dengan lingkungan, (d) tingginya konflik pemanfaatan ruang lintas sektor dan lintas wilayah, serta (e) belum terciptanya keterkaitan fungsional antara kawasan hulu dan hilir, yang cenderung merugikan kawasan pesisir.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh ADB (1994), maka dampak kenaikan muka air laut dan banjir diperkirakan akan memberikan gangguan yang serius terhadap wilayah-wilayah seperti : Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pada pesisir Barat Papua

Untuk kawasan budidaya, maka perhatian yang lebih besar perlu diberikan untuk kota-kota pantai yang memiliki peran strategis bagi kawasan pesisir, yakni sebagai pusat pertumbuhan kawasan yang memberikan pelayanan ekonomi, sosial, dan pemerintahan bagi kawasan tersebut. Kota-kota pantai yang diperkirakan mengalami ancaman dari kenaikan muka air laut diantaranya adalah Lhokseumawe, Belawan, Bagansiapi-api, Batam, Kalianda, Jakarta, Tegal, Semarang, Surabaya, Singkawang, Ketapang, Makassar, Pare-Pare, Sinjai. (Selengkapnya mohon periksa Tabel 1 pada Lampiran).

Kawasan-kawasan fungsional yang perlu mendapatkan perhatian terkait dengan kenaikan muka air laut dan banjir meliputi 29 kawasan andalan, 11 kawasan tertentu, dan 19 kawasan tertinggal. (selengkapnya mohon periksa Tabel 2 pada Lampiran).

Perhatian khusus perlu diberikan dalam pengembangan arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan prasarana wilayah yang penting artinya bagi pengembangan perekonomian nasional, namun memiliki kerentanan terhadap dampak kenaikan muka air laut dan banjir, seperti :

  • sebagian ruas-ruas jalan Lintas Timur Sumatera (dari Lhokseumawe hingga Bandar Lampung sepanjang ± 1600 km) dan sebagian jalan Lintas Pantura Jawa (dari Jakarta hingga Surabaya sepanjang ± 900 km) serta sebagian Lintas Tengah Sulawesi (dari Pare-pare, Makassar hingga Bulukumba sepanjang ± 250 km).
  • beberapa pelabuhan strategis nasional, seperti Belawan (Medan), Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Mas (Semarang), Pontianak, Tanjung Perak (Surabaya), serta pelabuhan Makassar.
  • Jaringan irigasi pada wilayah sentra pangan seperti Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur dan Sulawesi bagian Selatan.
  • Beberapa Bandara strategis seperti Medan, Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makassar, dan Semarang.

Untuk kawasan lindung pada RTRWN, maka arahan kebijakan dan kriteria pola pengelolaan kawasan rawan bencana alam, suaka alam-margasatwa, pelestarian alam, dan kawasan perlindungan setempat (sempadan pantai, dan sungai) perlu dirumuskan untuk dapat mengantisipasi berbagai kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi.

Selain antisipasi yang bersifat makro-strategis diatas, diperlukan pula antisipasi dampak kenaikan muka air laut dan banjir yang bersifat mikro-operasional. Pada tataran mikro, maka pengembangan kawasan budidaya pada kawasan pesisir selayaknya dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa alternatif yang direkomendasikan oleh IPCC (1990) sebagai berikut :

  • Relokasi ; alternatif ini dikembangkan apabila dampak ekonomi dan lingkungan akibat kenaikan muka air laut dan banjir sangat besar sehingga kawasan budidaya perlu dialihkan lebih menjauh dari garis pantai. Dalam kondisi ekstrim, bahkan, perlu dipertimbangkan untuk menghindari sama sekali kawasan-kawasan yang memiliki kerentanan sangat tinggi.
  • Akomodasi ; alternatif ini bersifat penyesuaian terhadap perubahan alam atau resiko dampak yang mungkin terjadi seperti reklamasi, peninggian bangunan atau perubahan agriculture menjadi budidaya air payau (aquaculture) ; area-area yang tergenangi tidak terhindarkan, namun diharapkan tidak menimbulkan ancaman yang serius bagi keselamatan jiwa, asset dan aktivitas sosial-ekonomi serta lingkungan sekitar.
  • Proteksi ; alternatif ini memiliki dua kemungkinan, yakni yang bersifat hard structure seperti pembangunan penahan gelombang (breakwater) atau tanggul banjir (seawalls) dan yang bersifat soft structure seperti revegetasi mangrove atau penimbunan pasir (beach nourishment). Walaupun cenderung defensif terhadap perubahan alam, alternatif ini perlu dilakukan secara hati-hati dengan tetap mempertimbangkan proses alam yang terjadi sesuai dengan prinsip “working with nature”.

Sedangkan untuk kawasan lindung, prioritas penanganan perlu diberikan untuk sempadan pantai, sempadan sungai, mangrove, terumbu karang, suaka alam margasatwa/cagar alam/habitat flora-fauna, dan kawasan-kawasan yang sensitif secara ekologis atau memiliki kerentanan tinggi terhadap perubahan alam atau kawasan yang bermasalah. Untuk pulau-pulau kecil maka perlindungan perlu diberikan untuk pulau-pulau yang memiliki fungsi khusus, seperti tempat transit fauna, habitat flora dan fauna langka/dilindungi, kepentingan hankam, dan sebagainya.

Agar prinsip keterpaduan pengelolaan pembangunan kawasan pesisir benar-benar dapat diwujudkan, maka pelestarian kawasan lindung pada bagian hulu – khususnya hutan tropis – perlu pula mendapatkan perhatian. Hal ini penting agar laju pemanasan global dapat dikurangi, sekaligus mengurangi peningkatan skala dampak pada kawasan pesisir yang berada di kawasan hilir.

Kebutuhan Intervensi Kebijakan Penataan Ruang dalam rangka Mengantisipasi Dampak Pemanasan Global terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Dalam kerangka kebijakan penataan ruang, maka RTRWN merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk dampak pemanasan global terhadap kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun demikian, selain penyiapan RTRWN ditempuh pula kebijakan untuk revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang yang berorientasi kepada pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tingkat kedalaman yang lebih rinci.

Intervensi kebijakan penataan ruang diatas pada dasarnya ditempuh untuk memenuhi tujuan-tujuan berikut :

  • Mewujudkan pembangunan berkelanjutan pada kawasan pesisir, termasuk kota-kota pantai dengan segenap penghuni dan kelengkapannya (prasarana dan sarana) sehingga fungsi-fungsi kawasan dan kota sebagai sumber pangan (source of nourishment) dapat tetap berlangsung.
  • Mengurangi kerentanan (vulnerability) dari kawasan pesisir dan para pemukimnya (inhabitants) dari ancaman kenaikan muka air laut, banjir, abrasi, dan ancaman alam (natural hazards) lainnya.
  • Mempertahankan berlangsungnya proses ekologis esensial sebagai sistem pendukung kehidupan dan keanekaragaman hayati pada wilayah pesisir agar tetap lestari yang dicapai melalui keterpaduan pengelolaan sumber daya alam dari hulu hingga ke hilir (integrated coastal zone management).
  • Untuk mendukung tercapainya upaya revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang, maka diperlukan dukungan-dukungan, seperti : (a) penyiapan Pedoman dan Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM) untuk percepatan desentralisasi bidang penataan ruang ke daerah – khususnya untuk penataan ruang dan pengelolaan sumber daya kawasan pesisir/tepi air; (b) peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia serta pemantapan format dan mekanisme kelembagaan penataan ruang, (c) sosialisasi produk-produk penataan ruang kepada masyarakat melalui public awareness campaig, (d) penyiapan dukungan sistem informasi dan database pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang memadai, serta (e) penyiapan peta-peta yang dapat digunakan sebagai alat mewujudkan keterpaduan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-kecil sekaligus menghindari terjadinya konflik lintas batas.
  • Selanjutnya, untuk dapat mengelola pembangunan kawasan pesisir secara efisien dan efektif, diperlukan strategi pendayagunaan penataan ruang yang senada dengan semangat otonomi daerah yang disusun dengan memperhatikan faktor-faktor berikut :
  • Keterpaduan yang bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah dalam konteks pengembangan kawasan pesisir sehingga tercipta konsistensi pengelolaan pembangunan sektor dan wilayah terhadap rencana tata ruang kawasan pesisir.
  • Pendekatan bottom-up atau mengedepankan peran masyarakat (participatory planning process) dalam pelaksanaan pembangunan kawasan pesisir yang transparan dan accountable agar lebih akomodatif terhadap berbagai masukan dan aspirasi seluruh stakeholders dalam pelaksanaan pembangunan.
  • Kerjasama antar wilayah (antar propinsi, kabupaten maupun kota-kota pantai, antara kawasan perkotaan dengan perdesaan, serta antara kawasan hulu dan hilir) sehingga tercipta sinergi pembangunan kawasan pesisir dengan memperhatikan inisiatif, potensi dan keunggulan lokal, sekaligus reduksi potensi konflik lintas wilayah
  • Penegakan hukum yang konsisten dan konsekuen – baik PP, Keppres, maupun Perda – untuk menghindari kepentingan sepihak dan untuk terlaksananya role sharing yang ‘seimbang’ antar unsur-unsur stakeholders.

BAB IV

PENUTUP

A.Kesimpulan

            Berdasarkan pembahasan di atas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan :

  1. Mengenai pengertian Global warming (Pemanasan Global), bahwa Global warming adalah peningkatan suhu rata-rata atmosfer bumi (terutama yang mengalami kenaikan suhu yang menyebabkan perubahan iklim) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi.
  2. Penyebab terjadinya Global warming adalah penyebab efek rumah kaca terjadi yaitu karena penggunaan kendaraan yang kurang bijaksana yang mengakibatkan polusi udara semakin meningkat secara drastis, menimbulkan karbon dioksida yang berlebihan sehingga cahaya matahari yang masuk ke bumi dan dipantulkan lagi tidak dapat menembus atmosfer bumi karena terhalang oleh karbon dioksida yang ditimbulkan dari polusi udara tersebut sehingga akan terasa lebih hangat.
  3. Dampak dari pemanasan global antara lain adalah ketinggian gunung berkurang, pelelehan besar-besaran yang terjadi di kutub-kutub, menggaggu kehidupan di bumi baik kehidupan manusia maupun ekologi yang berada di bumi, timbul berbagai penyakit, terutama penyakit kulit dan kelaparan serta malnutrisi karena musim panas yang berkepanjangan akan mengakibatkan gagal panen pada sektor pertanian

B.Saran

Dari beberapa kesimpulan tersebut di atas, maka penulis memberikan saran yang bermanfaat di kemudian hari sebagai berikut :

  1. Perlu meningkatkan kesadaran untuk menjaga kelestarian lingkungan.
  2. Perlu untuk membatasi emisi karbondioksida
  3. Perlunya kita menanam banyak pohon untuk menjaga penghijauan lingkungan
  4. Perlunya kita senantiasa untuk menggunakan bahan daur ulang

Perlunya kita menggunakan alat transportasi alternative untuk mengurangi emisi karbon

 

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Susanta,Gatut.dkk. 2007.  Akankah Indonesia Tenggelam Akibat Pemanasan Global.

Internet :

www.livescience.com

Fakultas Geografi.UGM.Pemanasan Global.diakses pada 2 oktober 2007

SMAN 1 Garut.Global Warming diakses 22 Januari 2010

http://www.suprememastertv.com/

http://www.worldwatch.org/node/6294

http://vegclimatealliance.org/livestock-and-climate-change-qa

wordnetweb.princeton.edu

www.mdbc.gov.au

BAHAN TAMBANG NIKEL PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN DALAM INDUSTRI

  1. Pendahuluan

Nikel adalah komponen yang ditemukan banyak dalam meteorit dan menjadi ciri komponen yang membedakan meteorit dari mineral lainnya. Meteorit besi atau siderit, dapat mengandung alloy besi dan nikel berkadar 5-25%. Nikel diperoleh secara komersial dari pentlandit dan pirotit di kawasan Sudbury Ontario, sebuah daerah yang menghasilkan 30% kebutuhan dunia akan nikel.

Unsur nikel berhubungan dengan batuan basa yang disebut norit. Nikel ditemukan dalam mineral pentlandit, dalam bentuk lempeng-lempeng halus dan butiran kecil bersama pyrhotin dan kalkopirit. Nikel biasanya terdapat dalam tanah yang terletak di atas batuan basa. Nikel yang dijumpai berhubungan erat dengan batuan peridotit. Logam yang tidak ditemukan dalam peridotit itu sendiri, melainkan sebagai hasil lapukan dari batuan tersebut. Mineral nikelnya adalah garnerit.

Nikel ditemukan oleh A. F. Cronstedtpada tahun 1751, merupakan logam berwarna putih keperak-perakan yang berkilat, keras dan mulur, tergolong dalam logam peralihan, sifat tidak berubah bila terkena udara, tahan terhadapoksidasi dan kemampuan mempertahankan sifat aslinya di bawah suhu yang ekstrim (Cotton dan Wilkinson, 1989). Nikel digunakan dalam berbagai aplikasi komersial dan industri, seperti :pelindung baja (stainless steel), pelindung tembaga, industri baterai, elektronik, aplikasi industri pesawat terbang, industri tekstil, turbin pembangkit listrik bertenaga gas, pembuat magnet kuat,pembuatan alat-alat laboratorium (nikrom), kawat lampu listrik, katalisator lemak, pupuk pertanian, dan berbagai fungsi lain (Gerberding J.L., 2005).

 

  1. Tambang Nikel di Indonesia

Tambang Nikel di Indonesia terdapat di Kalimantan Barat, Maluku, Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Di alam, proses penambangan nikel dimulai dengan mengupas tanah permukaan (10-20 meter) kemudian dibuang ketempat tertentu atau digunakan untuk menutup lokasi purnatambang. Lapisan tanah mengandung nikel berkadar tinggi selanjutnya diambil dengan menggunakan alat mekanis atau non mekanis dan diangkut untuk diolah di pabrik dan sebagaianditimbun di sekitar wilayah perairan pesisir untuk selanjutnya dalam bentuk mentah di ekspor keluar negeri. Nikel terbentuk bersama dengan belerang dalam millerite (NiS), dengan arsenikdalam galian nikolit (NiAs), dan dengan arsenik dan belerang dalam (nikel glance). Nikel juga terbentuk bersama-sama dengan chrom dan platina dalam batuan ultrabasa. Terdapat dua jenisendapan nikel, yaitu sebagai hasil konsentrasi residu silika dan pada proses pelapukan batuan beku ultra basa serta sebagai endapan nikel-tembaga sulfida, yang biasanya berasosiasi dengan pirit, pirotit, dan kalko pirit.

Di perairan nikel ditemukan dalam bentuk koloid. Garam-garam nikel misalnya nikelamonium sulfat, nikel nitrat, dan nikel klorida bersifat larut dalam air. Pada kondisi aerob dan pH< 9, nikel membentuk senyawa kompleks dengan hidroksida, karbonat, dan sulfat dan selanjutnya mengalami presipitasi. Demikian juga pada kondisi anaerob, nikel bersifat tidak larut(Moore, 1990dalam Effendi, 2003). Di muara sungai, nikel menunjukan konsentrasi yang semakin meningkat dengan peningkatan kekeruhan. Peningkatan konsentrasi nikel terlarut pada tingkat kekeruhan yang tinggi terjadi karena proses desorpsi dari partikel-partikel yang ada dimuara sungai dan proses resuspensi.

 

  • Proses Pengolahan dan Sistem Penambangan Nikel

Sumber daya (resouces) dan cadangan (reserve) nikel umumnya keterdapatannya di alam terletak tidak terlalu dalam dari permukaan. Oleh karena itu, sistem penambangan yang yang biasa digunakan pada penambangan nikel di indonesia adalah dengan sistem tambang terbuka seperti sistem open cast dan atau sistem open pit. Pada kedua sistem tersebut terdiri beberapa tahapan, antara lain.

  1. Land Clearing

Proses land clearing merupakan proses awal sebelum penggalian mareial bijih nikel dilakukan. Pada proses ini, vegetasi yang terdapat diatas cadangan nikel dibersihkan terlebih dahulu untuk memudahkan pembongkaran dan penggalian material tanah penutup dan bijih nikel yang akan dilakukan kemudian.

  1. Top soiling

Top soiling merupakan tahapan selanjutnya yang akan dilakukan setelah tahap land clearing telah selesai dilakukan. Pada tahap ini, lapisan tanah pucuk (top soil) yang mengandung humus dan unsur hara yang penting untuk kesuburan tanah dikupas, diangkut lalu ditimbun pada suatu lokasi khusus (dipisahkan dari mateial tanah penutup/overburden) yang telah dipersiapkan untuk menimbun tanah pucuk ini (top soil bank).

Hal ini dilakukan dengan harapan kondisi dan komposisi tanak pucuk tersebut tidak berubah dan dapat digunakan kembali ketika proses reklamasi dan revegetasi dilakukan setelah operrasi penambangan selesai dilakuakan.

  1. Pengupasan dan pengangkutan tanah penutup (Overburden)

Tahapan ini dilakukan bila tahapan land clearing dan top soiling telah selesai dilakukan. Endapan cadangan timah (saprolit dan limonit) biasanya terletak dibawah lapisan tanah yang tidak mengandung atau memiliki kadar nikel yang rendah. Sehingga untuk menambangnya diperlukan pengupasan dan pengangkutan lapisan tanah penutup (overburden) terlebih dahulu. Proses ini akan menggunkan kombinasi peralatan tambang berupa back hoe dan dump truk. Tanah penutup yang telah dikupas tersebut kemudian akan ditimbun pada lokasi penimbunan (disposal area).

  1. Pengupasan dan penganguktan bijih nikel

Setelah pengupasan lapisan tanah penutup selesai dilakukan, maka penambangan nijih nikel (saprolit dan limonit) dapat dilakuakn. Tahapan penambangan ini dikakukan dengan dengan mengunakan kombinasi peralatan back hoe dan dump truk. Bijih nikel yang telah ditambnag kemudian akan diangkut ke stock pile untuk di timbun sementara pada lokasi tambang, atau langsung menuju lokasi pabrik pengolahan maupun dikirim ke pelabuhan untuk dikrim ke lokasi yang telah ditentukan.

  1. Penimbunan

Kegiatan penambangan akan menghasilkan perubahan bentuk muka bumi jika yang berupa cekungan-cekungan pada bekas lokasi penambangan. Oleh karena itu, perusahaan tambnagn memiliki kewajiban untuk melakukan kegiatan penimbunan pada lokasi bekas tambang sehingga berubahan bentang alam yang terjadi dapat diminimalisasi. Kegiatan penimbunan menggunakan kombinasi peralatan back hoe dan bulldozer.

  1. Pengangkutan

Setelah ditambang, mateial bijih nikel selanjutnya akan diangkut menuju lokasi pengolahan untuk diolah untuk menghasilkan bahan olahan nikel maupun pelabuhan untuk dikirm meuju pihak pembeli. Proses pengangkutan bijih nikel maupun bahan olahan nikel menggunakan kombinasi peralatan dump truck dan kapal tongkang (tug boat).

 

  1. Teknologi Pengolahan Bijih Nikel

Secara umum teknologi pengolahan bijih bikel untuk menjadi bahan olahan nikel dapat dibagi menjadi dua macam yang terdiri dari Pirometalurgi dan Hidrometalurgi, yang dijelaskan sebagai berikut :

  1. Pirometalurgi

Proses pengolahan bijih nikel dengan menggunakan teknologi pengolahan pirometalurgi yaitu proses ekstraksi bijih nikel dengan menggunakan suhu tinggi. Biasanya teknologi ini digunakan untuk kriteria bijih dengan kadar nikel yang tinggi (kadar Ni > 1,5 %). Hasil akhir pengolahan dengan menggunkan teknologi ini berupa ferronikel dalam bentuk ingot danatau granular nikel matte.

  1. Hidrometalurgi

Proses pengolahan bijih nikel dengan penggunkan teknologi hidrometalurgi adalah proses ekstraksi bijih nikel dengan menggunakan proses pelindian (leaching) dengan menggunakan reagent-reagent tertentu. Teknologi ini biasanya digunakan untuk pengelohan bijih nikel dengan kadar rendah. Hasil akhir pengolahan ini berupa nikel (Ni).

Diagram Alir Pengolahan Bijih Nikel

Diagram alir pengolahan bijih nikel dengan metode pirometalurgi dapat dilihat pada skema sebagai berikut ini :

2015-05-20_003348

source image : bahan presentasi kuliah program studi t. metalurgi itb

Sedangkan pengolahan bijih nikel dengan menggunakan metode hidrometalurgi dapat dilihaat pada skema berikut:

2015-05-20_003417

source image : bahan presentasi kuliah program studi t. metalurgi itb

  1. Proses Kimia Pembentukan Nikel

Nikel terbentuk bersama mineral silikat kaya akan unsur Mg (ex: olivin). Olivin adalah jenis mineral yang tidak stabil selama pelapukan berlangsung. Saprolite adalah produk pelapukan pertama, meninggalkan sedikitnya 20% fabric dari batuan aslinya (parent rock). Batas antara batuan dasar, saprolite dan wathering front tidak jelas dan bahkan perubahannya gradasional. Endapan nikel laterite dicirikan dengan adanya speroidal weathering sepanjang joints dan fractures ( boulder saprolite). Selama pelapukan berlangsung, Mg larut dan Silika larut bersama groundwater. Ini menyebabkan fabric dari batuan induknya is totally change. Sebagai hasilnya, Fe-Oxide mendominasi dengan membentuk lapisan horizontal diatas saprolite yang sekarang kita kenal sebagai Limonite. Benar bahwa Nikel berasosiasi dengan Fe-Oxide terutama dari jenis Goethite. Rata-rata nikel berjumlah 1.2 %.

Proses kimia dan fisika dari udara, air serta pergantian panas dingin yang bekerja kontinu, menyebabkan disintegrasi dan dekomposisi pada batuan induk. Pada pelapukan kimia khususnya, air tanah yang kaya akan CO2 berasal dari udara dan pembusukan tumbuh-tumbuhan menguraikan mineral-mineral yang tidak stabil (olivin dan piroksin) pada batuan ultra basa, menghasilkan Mg, Fe, Ni yang larut; Si cenderung membentuk koloid dari partikel-partikel silika yang sangat halus. Didalam larutan, Fe teroksidasi dan mengendap sebagai ferri-hydroksida, akhirnya membentuk mineral-mineral seperti geothit, limonit, dan haematit dekat permukaan. Bersama mineral-mineral ini selalu ikut serta unsur cobalt dalam jumlah kecil.

Larutan yang mengandung Mg, Ni, dan Si terus menerus kebawah selama larutannya bersifat asam, hingga pada suatu kondisi dimana suasana cukup netral akibat adanya kontak dengan tanah dan batuan, maka ada kecenderungan untuk membentuk endapan hydrosilikat. Nikel yang terkandung dalam rantai silikat atau hydrosilikat dengan komposisi yang mungkin bervariasi tersebut akan mengendap pada celah-celah atau rekahan-rekahan yang dikenal dengan urat-urat garnierit dan krisopras. Sedangkan larutan residunya akan membentuk suatu senyawa yang disebut saprolit yang berwarna coklat kuning kemerahan. Unsur-unsur lainnya seperti Ca dan Mg yang terlarut sebagai bikarbonat akan terbawa kebawah sampai batas pelapukan dan akan diendapkan sebagai dolomit, magnesit yang biasa mengisi celah-celah atau rekahan-rekahan pada batuan induk. Di lapangan urat-urat ini dikenal sebagai batas petunjuk antara zona pelapukan dengan zona batuan segar yang disebut dengan akar pelapukan (root of weathering)

  • Kondisi Mineralogy

Endapan nikel laterite terbentuk baik pada mineral jenis silicate atau oxide. Kemiripan radius ion Ni2+ dan Mg2+  memungkinkan substitusi ion diantara keduanya. Umumnya, mineral bijih dari jenis hidrous silicate seperti talc, smectite, sepiolite, dan chlorite terbentuk selama proses metamorphisme temperature rendah dan selama proses pelapukan dari batuan induk. Umumnya, mineral – mineral tersebut mempunyai variasi ratio Mg dan Ni. Mineral garnierite dari jenis silicate mempunyai ciri poor kristalin, texture afanitik, dan berstuktur seperti serpentinite (Brindley,1978).

  • Kondisi Topografi dan Morfologi

Dua faktor tersebut sangat penting dalam endapan nikel laterit karena kaitannya dengan posisi water table, stuktur dan drainage. Zona enrichment nikel laterite berada di topografi bagian atas (upper hill slope,crest, plateau, atau terrace). Kondisi water table pada zona ini dangkal,apalagi ditambah dengan adanya zona patahan n shear or joint. In consequence, akan mempercepat proses palarutan kimia (leaching processes) yang pada akhirnya akan terbentuk endapan saprolite mengandung nikel yang cukup tebal. Kondisi seperti ini dapat dijumpai di beberapa tempat sepeti Indonesia, New Caledonia, Ural (Russia) dan Columbia. Sebaliknya, pada topografi yang rendah, water table yang dalam akan menghambat proses pelarutan unsur – unsur dari batuan induk (baca: enrichment proses).

  • Pengaruh Iklim

Tempat – tempat yang beriklim tropis seperti Indonesia, Columbia memungkinkan untuk terjadinya endapan Nikel laterite. Kondisi curah hujan yang tinggi,temperatur yang hangat ditambah dengan aktivitas biogenic akan mempercepat proses pelapukan kimia, dimana Nikel laterite bisa mudah terbentuk.

  1. Produk Olahan Nikel

Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa teknologi pengolahan bijih nikel dapat dibagi menjadi dua macam teknologi yang mempunyai produk akhir yang berbeda-beda. Produk olahan dari bijih nikel yang umumnya dihasilkan diindonesia adalah sebagai berikut.

  • Ferronikel (menggunakan teknologi pirometalurgi)
  • Nikel Matte (menggunakan teknologi pirometalurgi)
  • Nikel (menggunakan teknologi hidrometalurgi)

Proses pengolahan biji Nikel dilakukan untuk menghasilkan Nikel matte yaitu produk dengan kadar Nikel di atas 75 %. Tahap-tahap utama dalam proses pengolahan adalah sebagai berikut:

  • Pengeringan di Tanur Pengering bertujuan untuk menurunkan kadar air bijih laterit yang dipasok dari bagian Tambang dan memisahkan bijih yang berukuran 25 mm.
  • Kalsinasi dan Reduksi di Tanur untuk menghilangkan kandungan air di dalam bijih, mereduksi sebagian Nikel oksida menjadi Nikel logam, dan sulfidasi.
  • Peleburan di Tanur Listrik untuk melebur kalsin hasil kalsinasi/reduksi sehingga terbentuk fasa lelehan matte dan terak
  • Pengkayaan di Tanur Pemurni untuk menaikkan kadar Ni di dalam matte dari sekitar 27 % menjadi di atas 75 %
  • Granulasi dan Pengemasan untuk mengubah bentuk matte dari logam cair menjadi butiran-butiran yang siap diekspor setelah dikeringkan dan dikemas.

 

  1. Sifat-Sifat Nikel

Nikel adalah unsur kimia metalik dalam tabel periodik yang memiliki simbol Ni dan nomor atom 28. Nikel mempunyai sifat tahan karat. Dalam keadaan murni, nikel bersifat lembek, tetapi jika dipadukan dengan besi, krom, dan logam lainnya, dapat membentuk baja tahan karat yang keras, mudah ditempa, sedikit ferromagnetis, dan merupakan konduktor yang agak baik terhadap panas dan listrik. Nikel tergolong dalam grup logam besi-kobal,  yang dapat menghasilkan alloy yang sangat berharga.

 

  1. Sifat Fisik

Nikel merupakan unsur logam dengan fasa padat, memiliki massa jenis sekitar 8,908 g/cm3 serta massa jenis cair saat melewati titik didihnya 7,81 g/cm3. Titik lebur dari Nikel adalah 1455oC, sedangkan titik didihnya adalah 2913oC. Kalor peleburan Nikel adalah 14,48 kJ/mol, sedangkan kalor penguapan Nikel adalah 377,5 kJ/mol, dan kapasitas kalor saat suhu ruang adalah 26,07 J/(molK).

 

  1. Sifat Kimia

Informasi dasar

Nama                                               : Nikel

Simbol                                             : Ni

Nomor Atom                                   : 28

Massa Atom                        : 58.6934 amu

Titik Leleh                           : 1453.0 °C (1726.15 K, 2647.4 °F)

Titik Didih                           : 2732.0 °C (3005.15 K, 4949.6 °F)

Jumlah Protons/Elektron     : 28

Jumlah Neutron                   : 31

Klasifikasi                            : Transition Metal

Struktur kristal                     : Cubic

Massa jenis @ 293 K                       : 8.902 g/cm3

Warna                                              : Putih dasar

Jumlah Tingkat Energi         : 4

Energi pertama level                        : 2

Energi Kedua Level            : 8

Energi Ketiga Level            : 16

Energi Keempat Level         : 2

Isotopes

Isotope Half Life
Ni-56 6.1 days
Ni-57 35.6 hours
Ni-58 Stable
Ni-59 76000.0 years
Ni-60 Stable
Ni-61 Stable
Ni-62 Stable
Ni-63 100.0 years
Ni-64 Stable
Ni-65 2.51 hours

 

Fakta.

Tanggal Penemuan      : 1751

Penemu                       : Alex Cronstedt

Nama Asal                  : Dari kata kupfernickel Jerman (Tembaga Palsu)

Kegunaan        : Paduan Logam Elektroplating, nikel-kadmium baterai

Di peroleh dari            : pentlandit

Keterangan unsur:

  • Volume Atom : 6.6 cm3/mol
  • Struktur Kristal : fcc
  • Massa Jenis : 8.9 g/cm3
  • Konduktivitas Listrik : 14.6 x 106 ohm-1cm-1
  • Elektronegativitas : 1.91
  • Konfigurasi Elektron : [Ar]3d8 4s2
  • Formasi Entalpi : 17.2 kJ/mol
  • Konduktivitas Panas : 90.7 Wm-1K-1
  • Potensial Ionisasi : 7.635 V
  • Bilangan Oksidasi : 2,3
  • Kapasitas Panas : 0.444 Jg-1K-1
  • Entalpi Penguapan : 377.5 kJ/mol

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  • Manfaat dan Penggunaan Nikel

2015-05-20_003440

Nikel digunakan dalam berbagai aplikasi komersial dan industri, seperti : pelindung baja (stainless steel), pelindung tembaga, industri baterai, elektronik, aplikasi industri pesawat terbang, industri tekstil, turbin pembangkit listrik bertenaga gas, pembuat magnet kuat,pembuatan alat-alat laboratorium (nikrom), kawat lampu listrik, katalisator lemak, pupuk pertanian, dan berbagai fungsi lain (Gerberding J.L., 2005)

 

  • Paduan Nikel

Nikel (Ni) adalah logam perak-putih yang ditemukan pada tahun 1751 dan unsur paduan utama yang memberikan kekuatan, ketangguhan, dan ketahanan korosi. Yang biasanya digunakan secara luas pada baja stainless dan paduan berbasis nikel (yang biasa disebut superalloy). Paduan nikel digunakan pada aplikasi temperatur tinggi (seperti komponen mesin jet, roket, dan pembangkit listrik tenaga nuklir), dalam penanganan makanan dan peralatan pengolahan kimia, koin, dan dalam perangkat kapal laut. Karena nikel mempunyai sifat magnetik, paduan nikel juga digunakan dalam aplikasi elektromagnetik, seperti solenoida. Penggunaan utama nikel yaitu sebagai logam untuk electroplating dari part untuk permukaannya dan untuk peningkatan ketahanannya terhadap korosi dan keausan. Paduan nikel memiliki kekuatan tinggi dan tahan korosi pada temperatur tinggi. Pemaduan unsur nikel kromium, kobalt, dan molibdenum. Sifat paduan nikel dalam mesin, pembentuk, casting, dan pengelasan dapat dimodifikasi dengan berbagai unsur paduan lainnya.

Berbagai paduan nikel, memiliki berbagai kekuatan pada temperatur yang berbeda, telah dikembangkan .Meskipun nama dagang masih digunakan secara umum, paduan nikel sekarang diidentifikasi dalam sistem UNS dengan huruf N. Jadi, hastelloy G yang sekarang adalah N06007. Monel adalah paduan nikel-tembaga. Inconel adalah paduan nikel-kromium dengan tegangan tarik hingga 1400 MPa.

Hastelloy (paduan nikel-kromium) memiliki ketahanan korosi yang baik dan kekuatan tinggi pada suhu yang tinggi. Nichrome (paduan nikel, kromium, dan besi) memiliki ketahanan listrik tinggi dan ketahanan yang tinggi terhadap oksidasi dan digunakan untuk elemen pemanas listrik. Invar dan kovar (paduan besi dan nikel) memiliki sensitivitas yang relatif pada suhu rendah

  1. Superalloy

Superalloy sangat penting untuk aplikasi temperatur tinggi, oleh karena itu, mereka juga dikenal sebagai paduan tahan suhu panas atau tinggi. Superaloy umumnya memiliki ketahanan yang baik terhadap korosi, kelelahan mekanis dan termal, getaran mekanik dan termal, rambatan, dan erosi pada temperatur tinggi. Aplikasi utama dari superalloy adalah untuk mesin jet dan turbin gas. Aplikasi lain mesin torak, mesin roket, alat-alat dan cetakan untuk perlakuan panas logam, nuklir, kimia, dan industri petrokimia. Secara umum, superalloy diidentifikasi dengan nama dagang atau sistem penomoran khusus, dan mereka tersedia dalam berbagai bentuk. Kebanyakan superalloy memiliki ketahanan suhu maksimum sekitar 1000o C dalam aplikasi struktural. Suhu dapat setinggi 1.200o C untuk komponen bantalan non beban.

Superaloy terdiri dari berbasis besi, berbasis kobalt, atau berbasis nikel:

Superalloy berbasis Besi pada umumnya mengandung 32-67% Fe, dari 15 sampai dengan 22% Cr, dan 9-38% Ni. Paduan umum dalam kelompok ini adalah seri incoloy.

Superalloy berbasis Cobalt pada umumnya mengandung 35-65% Co, dari 19 menjadi 30% Cr, dan naik 35% Ni. Superalloy ini tidak sekuat superalloy berbasis nikel, tetapi mereka mampu mempertahankan kekuatan mereka pada suhu yang lebih tinggi.

Superalloy berbasis Nikel adalah yang paling umum dari superalloy, dan mereka tersedia dalam berbagai macam komposisi (tabel 6.9). komposisi nikel adalah 38-76%. Mereka juga mengandung 27% Cr dan 20% paduan Co. Biasanya paduan dalam kelompok ini adalah Hastelloys, Inconel, Nimonic, Rene, udimet, astroloy, dan seri waspaloy.

  1. Stainless Steel

2015-05-20_003530

Stainless Steel (SS) adalah baja dengan sifat ketahanan korosi yang sangat tinggi di berbagai kondisi lingkungan. Nikel digunakan sebagai unsur penstabil austenit, yang berarti penambahan nikel pada besi paduan mempromosikan perubahan struktur kristal dari BCC (ferritic) ke fcc (austenitic). Jadi nikel digunakan untuk menaikkan kekuatan, memperbaiki sifat kelelahan dan meningkatkan keuletan besi.

Penambahan nikel menunda pembentukan fasa intermetalik yang merusak pada austenitic SS tetapi nikel kurang efektif dibanding nitrogen pada DSS. Sruktur fcc membuat austenitic stainless steels memiliki ketangguhan tinggi. Kehadirannya dari sekitar setengah struktur mikro duplex meningkatkan ketangguhan duplex dibanding Ferritic SS.

  1. Copper-Nikel-Silikon Alloys

“Nickel Silicon Bronze Alloys, which is an age-hardening alloy, higher alloyed in comparison with CuNi1.5Si, for current-carrying formed parts. It has an a-structure with very fine precipitations and recommends itself both for lead frames which require a high rigidity of the pins and for connector with high demands on the electrical conductivity, strength and relaxation behavior. In addition, the CuNi2Si can also be used for current-carrying formed parts and contact springs due to its good fatigue strength, forming and spring properties.”(ecplaza.com,2010)

Jika Nikel dan Silikon dalam perbandingan 4 : 1, yaitu 4 bagian Nikel dan 1 bagian Silikon dipadukan di dalam Copper (Tembaga) pada Temperatur tinggi maka akan terbentuk sebuah unsur yang disebut Nikel Silicide (Ni2Si) dan pada Temperatur rendah paduan ini akan sesuai untuk pengendapan dalam perlakuan panas, dimana proses pelarutan akan diperoleh dalam proses Quenching dari Temperatur 7000C dan akan diperoleh sifat paduan Tembaga yang lunak dan ulet, kemudian dilanjutkan dengan memberikan pemanasan pada Temperatur 4500C maka akan meningkatkan kekerasan serta tegangan dari paduan Tembaga tersebut. %tase kadar Nikel dan Silikon ini disesuaikan dengan kebutuhan dari sifat yang dihasilkannya, biasanya diberikan antara 1 % hingga 3 % . Paduan Tembaga Sehingga akan memiliki sifat Thermal dan electrical Conductivity yang baik dan tahan terhadap pembentukan kulit dan oxidasi serta dapat mempertahankan sifat mekaniknya pada Temperatur tinggi dalam jangka waktu yang lama.

  1. Nikel – Silver

“Nickel silver,also known as German silverpaktongnewsilver or alpacca (or alpaca), is a copper alloy with nickel and often zinc. The usual formulation is 60% copper, 20% nickel and 20% zinc.” (wikipedia.org,2010).

Nikel – Silver sebenarnya tidak mengandung unsur Silver, penamaan ini dikarenakan    penampilan dari paduan ini menyerupai  silver. Komposisinya terdiri atas Copper, Nikel dan Seng (Zinc). Semua paduan dari jenis ini dapat dikerjakan atau dibentuk dengan pengejaan dingin (cold working), akan tetapi dengan meminimalkan tingkat kemurniannya paduan ini juga memungkinkan untuk pengerjaan panas (hot working). Nikel Silver mengandung kadar Tembaga antara 55 % sampai 68 % dan paduan dengan kadar Nikel antara 10 % hingga 30 % banyak digunakan dalam pembuatan sendok dan garpu. Paduan yang dibuat dalam bentuk plat dengan type EPNS sebagai derajat kesatu dengan kadar Nikel 18 % digunakan sebagai bahan pegas pada kontaktor peralatan listrik.

 

  1. Bahaya Toksik Nikel

Logam berat adalah istilah yang digunakan secara umum untuk kelompok logam berat dan metaloid yang densitasnya lebih besar dari 5 g/cm3 (Hutagalung et al., 1992). Logam beratadalah unsur-unsur kimia dengan bobot jenis lebih besar dari 5 gr/cm3, terletak di sudut kananbawah sistem periodik, mempunyai afinitas yang tinggi terhadap unsur S dan biasanya bernomoratom 22 sampai 92 dari perioda 4 sampai 7 (Miettinen, 1977). Afinitas yang tinggi terhadap unsur S menyebabkan logam ini menyerang ikatan belerang dalam enzim, sehingga enzim bersangkutan menjadi tak aktif. Gugus karboksilat (-COOH) dan amina (-NH2) juga bereaksi dengan logam berat. Kadmium, timbal, dan tembaga terikat pada sel-sel membran yang menghambat proses transformasi melalui dinding sel (Manahan, 1977).

Di perairan, logam berat dapat ditemukan dalam bentuk terlarut dan tidak terlarut. Logamberat terlarut adalah logam yang membentuk senyawa kompleks dengan senyawa organik dan anorganik, sedangkan logam berat yang tidak terlarut merupakan partikel-partikel yang berbentuk koloid dan senyawa kelompok metal yang teradsorbsi pada partikelpartikel yang tersuspensi.

Sedikitnya terdapat 80 jenis dari 109 unsur kimia di muka bumi ini yang telah teridentifikasi sebagai jenis logam berat. Berdasarkan sudut pandang toksikologi, logam beratdapat dibagi dalam dua jenis.Pertama, logam berat esensial, di mana keberadaannya dalamjumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme hidup, namun dalam jumlah yang berlebihan dapat menimbulkan efek racun. Contoh logam berat ini adalah Zn, Ni, Cu, Fe, Co, Mn dan lain sebagainya. Sedangkan jenis kedua, logam berat tidak esensial atau beracun, dimana keberadaannya dalam tubuh masih belum diketahui manfaatnya atau bahkan dapat bersifat racun,seperti Hg, Cd, Pb, Cr dan lain-lain (Connel dan Miller 1995).

Logam berat umumnya ditemukan dalam bentuk %yawaan dengan unsur lain, dan sangat jarang ditemukan dalam elemen tunggal. Unsur ini dalam kondisi suhu kamar tidak selalu berbentuk padat melainkan ada yang berbentuk cair. Logam berat di perairan memiliki sifat konserfatif dan nonkonservatif. Sifat konservatif menunjukan kestabilan konsentrasi suatu komponen, hal ini berarti bahwa konsentrasi suatu komponen cenderung tetap dan tidakterpengaruh dengan proses-proses fisik dan biologi yang ada di perairan, ditunjukkan dengan proses pergerakan (removal), peningkatan konsentrasi (addition), dan pergerakan sekaligus peningkatan konsetrasi (removal dan addition) (Hutagalung dan Razak, 1992).

Sebagian dari logam berat bersifat essensial bagi organisme air untuk pertumbuhan dan perkembangan hidupnya, antara lain dalam pembentukan haemosianin dalam sistem darah dan enzimatik pada biota (Darmono, 1995). Berdasarkan sifat kimia dan fisikanya, maka tingkat ataudaya racun logam berat terhadap hewan air dapat diurutkan (dari tinggi ke rendah) sebagai berikut merkuri (Hg), kadmium (Cd), seng (Zn), timah hitam (Pb), krom (Cr), nikel (Ni), dan kobalt (Co) (Sutamihardja dkk, 1982). Menurut Darmono (1995) daftar urutan toksisitas logam paling tinggi ke paling rendah terhadap manusia yang mengkomsumsi ikan adalah sebagai berikut Hg2+ > Cd2+ >Ag2+ > Ni2+ > Pb2+ > As2+ > Cr2+ Sn2+ > Zn2+. Sedangkan menurut Kementrian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1990) sifat toksisitas logam beratdapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompok, yaitu:

  • Bersifat toksik tinggi (Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn)
  • Bersifat toksik sedang (Cr, Ni, dan Co)
  • Bersifat tosik rendah (Mn dan Fe).

Kadar nikel di perairan tawar alami adalah 0,001 – 0,003 mg/liter (Scoullos dan Hatzianestis, 1989,in Moore,1990 in Effendi 2003); sedangkan pada perairan laut berkisar antara 0,005 – 0,007 mg/liter (Mc Neely et al., 1979).

Adanya logam berat di perairan, berbahaya baik secara langsung terhadap kehidupan organisme, maupun efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia. Hal ini berkaitandengan sifat-sifat logam berat ( PPLH-IPB, 1997; Sutamihardja dkk, 1982) yaitu :

  • Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan   keberadaannya secara alami sulit terurai (dihilangkan)
  • Dapat terakumulasi dalam organisme termasuk kerang dan ikan, dan akan membahayakan kesehatan manusia yang mengkomsumsi organisme tersebut
  • Mudah terakumulasi di sedimen, sehingga konsentrasinya selalu lebih tinggi dari konsentrasi logam dalam air
  • Mudah tersuspensi karena pergerakan masa air yang akan melarutkan kembali logam yang dikandungnya ke dalam air, sehingga sedimen menjadi sumber pencemar potensial dalamskala waktu tertentu

Walaupun terjadi peningkatan sumber logam berat, namun konsentrasinya dalam air dapat berubah setiap saat. Hal ini terkait dengan berbagai macam proses yang dialami oleh senyawa tersebut selama dalam kolom air. Parameter yang mempengaruhi konsentrasi logam berat di perairan adalah suhu, salinitas, arus, pH dan padatan tersuspensi total atau seston.

Nikel dalam jumlah kecil dibutuhkan oleh tubuh, tetapi bila terdapat dalam jumlah yang terlalu tinggi dapat berbahaya untuk kesehatan manusia, Yaitu : menyebabkan kanker paru-paru, kanker hidung, kanker pangkal tenggorokan dan kanker prostat, merusak fungsi ginjal,meyebabkan kehilangan keseimbangan, menyebabkan kegagalan respirasi, kelahiran cacat,menyebabkan penyekit asma dan bronkitis kronis serta merusak hati.

Gerberding J.L (2005) melaporkan bahwa dalam konsentrasi tinggi nikel di tanah berpasir merusak tanaman dan di permukaan air dapat mengurangi tingkat pertumbuhan algae. Lebih lanjut dikatakan bahwa nikel juga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme, tetapimereka biasanya mengembangkan perlawanan terhadap nikel setelah beberapa saat. Ketoksikan nikel pada kehidupan akuatik bergantung pada spesies, pH, kesadahan dan faktor lingkungan lain (Blaylock dan Frank, 1979).

 

  1. Inovasi Produk atau Manfaat dari Bahan Dasar Nikel

Teknologi pengolahan biji nikel menjadi sponge iron content nickel. Cadangan biji nikel Indonesia mencapai lebih dari 1 milyar ton. Biji nikel tersebut saat ini sebagian besar dijual dalam bentuk raw material sebanyak lebih dari 6.5 juta ton/tahun dengan harga hanya ± 30 US$/ton. Padahal setelah menjadi nickel matt harganya lebih dari 24.000 US$/ton. Untuk bisa memproduksi nickel matt diperlukan investasi yang mencapai milyaran dolar dan didukung Power Plant dengan daya lebih dari 200 megawatt.

Karena itulah diperlukan inovasi pengolahan biji nikel menjadi sponge iron content nickel dengan peralatan yang dibuat di dalam negeri dan berbasis bahan bakar batubara. Biji nikel diolah dengan menggunakan tepung batubara untuk menjadi sponge iron lalu bisa diolah lagi menjadi nickle matt dengan kopula hot blast batubara.

  1. Perspektif:

Dengan pasokan persediaan biji nikel yang sangat besar di Indonesia maka industri pengolahan barang jadi dari nikel sangat potensial untuk digarap karena bisa mendatangkan added value sampai ribuan kali

  1. Keunggulan Inovasi:
  • Teknologi kopula hot blast bisa dibuat di dalam negeri.
  • Menggunakan batubara yang tersedia banyak di Indonesia.
  • Hasil produk memiliki nilai tambah sangat tinggi.
  1. Potensi Aplikasi

Inovasi metode pengolahan biji nikel alternatif ini dapat dikembangkan, untuk membangun kemampuan nasional dalam mengolah hasil-hasil tambang bernilai tinggi, tapi dengan investasi yang tidak terlalu besar.

  1. Ide lain dari bahan Nikel

Bijih nikel dibagi dalam dua tipe, bijih sulfida dan oksida atau laterit. Hingga saat ini, sebagian besar nikel yang digunakan di dunia bersumber dari pengolahan bijih nikel sulfida. Pengolahan nikel dari bijih laterit membutuhkan energi yang tinggi dikarenakan kadarnya yang relatif rendah (1-2% Ni), di mana bijih nikel laterit ini sangat sulit untuk dikonsentrasi sebagaimana bijih sulfida. Kenyataannya, cadangan bijih nikel terbesar di bumi adalah bijih nikel laterit, termasuk di Indonesia. Secara konvensional, proses ekstraksi nikel dari bijih nikel laterit dilakukan melalui jalur pirometalurgi dan hidrometalurgi. Secara umum, pengolahan dengan cara konvensional tersebut membutuhkan biaya investai yang tinggi dan biaya operasi yang mahal serta dampak lingkungan yang harus dikendalikan dengan ketat. Hingga saat ini, teknologi yang efektif dan efisien serta ramah lingkungan masih terus diteliti.

Salah satu alternatif teknologi pengolahan bijih nikel laterit adalah dengan bioleaching. Bioleaching merupakan proses ekstraksi nikel dengan memanfaatkan aktivitas bakteri. Dengan metode ini, tidak diperlukan asam sulfat anorganik sehingga tidak diperlukan pendirian pabrik asam sulfat (acid plant) yang akan dengan sendirinya menurunkan biaya modal dan biaya operasi pabrik. Selain itu, bakterinya pun mudah untuk dikembangbiakkan dengan bioteknologi yang ada sekarang. Dari aspek lingkungan, bioleaching juga lebih ramah lingkungan karena kuantitas limbahnya sedikit dan bersifat organik. Bakteri yang dimanfaatkan untuk pelindian (leaching) dikembangkan dari daerah asal bijih. Bila teknologi bioleaching berhasil diterapkan pada ekstraksi nikel dari bijih laterit maka akan memberikan keuntungan berupa reduksi kebutuhan energi, reduksi biaya dan ramah lingkungan.

Tahap-tahap yang dilakukan untuk implementasi teknologi ini dimulai dengan uji berskala laboratorium. Dari serangkaian percobaan yang dilakukan, akan didapatkan beberapa parameter yang terkait dengan proses bioleaching, seperti media dan nutrisi yang paling cocok untuk bakteri,  ukuran partikel bijih, persen padatan, suhu, dan laju pengadukan yang paling optimal, spesies bakteri, serta persen ekstraksi nikel. Setelah tahap ini dilalui, maka dilanjutkan dengan pilot project yang merupakan uji yang berskala lebih besar dari laboratorium (scale up). Teknologi ini dapat diterapkan di industri setelah dinyatakan layak melalui studi aspek teknis, ekonomi dan lingkungan.

 

LIFE-CYCLE ASSESSMENT (LCA)

  1. LATAR BELAKANG

LED (Light Emitting Diode) adalah dioda yang dapat mengemisikan cahaya. Pencahayaan menggunakan lampu LED memiliki potensi untuk melampaui banyak teknologi pencahayaan konvensional dalam hal efisiensi energi, umur hidup, keserbagunaan, dan kualitas warna. Pencahayaan menggunakan LED juga diperkirakan akan mewakili 46% dari penerangan umum dalam lumen-jam pada tahun 2030.

merk

Meningkatkan efisiensi energi dengan menggunakan lampu LED merupakan langkah yang sangat efektif untuk mengurangi penggunaan energi listrik. Selain itu, masa penggunaan lampu LED atau umur hidup lampu LED lebih lama dibandingkan produk penerangan lainnya, sehingga jelas dapat mengurangi dampak lingkungan yang terjadi, misalnya limbah padat dari lampu LED yang tak terpakai.

Meski demikian, diperlukan kajian tentang material dan sumber daya energi yang digunakan pada fase-fase awal dari siklus hidup lampu tersebut untuk mengetahui apakah langkah tersebut benar-benar layak dilakukan. Dengan kata lain, meskipun energi yang dikonsumsi selama penggunaan lampu LED kurang dari energi yang dikonsumsi oleh lampu CFL (Compact Fluorescent Lamp) atau lampu neon dan lampu pijar, hal ini memunculkan pertanyaan tentang kebermanfaatan pengurangan penggunaan energi listrik dan manfaat lingkungan yang dicapai selama masa penggunaan lampu LED sebanding dengan energi dan dampak lingkungan yang terjadi di fase-fase awal siklus hidup lampu LED.

Laporan ini merujuk pada laporan yang disusun oleh U.S Department of Energy (DOE) tentang Life Cycle Assessment of Energy and Environmental Impacts of LED Lighting Products. Meskipun lampu LED telah diproduksi dalam berbagai faktor bentuk lampu, laporan ini hanya akan menganalisis LCA untuk lampu-lampu GLS (General Lighting Service), yaitu lampu-lampu yang digunakan untuk menggantikan lampu pijar tipe A (biasanya lampu untuk perumahan). Hal ini karena lebih dari tiga juta instalasi di U.S menggunakan lampu-lampu GLS. Lampu-lampu GLS yang dimaksud adalah lampu pijar, CFL, dan lampu LED. Pada tahun 2012, 72% dari GLS adalah lampu pijar, 27% dari GLS adalah CFL, dan hanya 1% dari GLS yang merupakan lampu LED. Dengan demikian, perbandingan energi total yang dikonsumsi selama siklus hidup di laporan inni, dilakukan terhadap lampu LED, lampu pijar, dan CFL.

Tujuan dari laporan ini adalah untuk mengetahui data-data LCA untuk lampu LED sehingga dapat dibandingkan dengan lampu pijar dan CFL serta untuk mengetahui dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh ketiga teknologi penera-ngan tersebut berdasarkan laporan yang disusun oleh DOE.

 

  1. LIFE-CYCLE ASSESSMENT

Life-Cycle Assessment (LCA) adalah metode yang digunakan untuk mengevaluasi konsumsi energi dan bahan mentah, emisi yang dikeluarkan ke lingkungan, dan limbah lainnya yang berkaitan dengan siklus hidup suatu produk atau sistem. Siklus hidup suatu produk atau sistem adalah siklus dari mulai produk itu tidak ada atau masih berupa bahan mentah yang ada di alam, kemudian diproses menjadi produk, sampai produk itu tidak bisa digunakan lagi dan menjadi limbah padat yang dibuang ke alam. Menurut ISO, skema langkah kerja LCA ditunjukkan oleh Gambar 2.1.

gambar 2.1

Gambar 2.1. Langkah Kerja LCA

 

Langkah awal adalah Defining Goal, Scope, and Boundary Definition. Langkah ini akan menentukan tujuan dibuatnya LCA dan mendeskripsikan kegunaan yang diharapkan dari hasil LCA. Sesuai bab 1, laporan LCA yang merujuk pada laporan yang dibuat oleh DOE tentang Life Cycle Assessment of Energy and Environmental Impacts of LED Lighting Products ini bertujuan untuk mengetahui data-data LCA untuk lampu LED sehingga dapat dibandingkan dengan lampu pijar dan CFL serta untuk mengetahui dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh ketiga teknologi penerangan tersebut. Pada langkah ini juga akan ditentukan scope dan batasan yang mendefinisikan proses apa saja yang dikaji dan jangkauan dari analisis. Berdasaran laporan yang dibuat oleh DOE, laporan LCA ini membatasi jangkauan analisis hanya pada tahap material acquisition, raw material processing, manufacturing and assembly, transpor-tation, dan usage.

Langkah berikutnya adalah Life-Cycle Inventory (LCI) Analysis. Langkah ini termasuk pengumpulan data dan perhitungan untuk mengkuantifikasi input dan output dari sebuah sistem produk (sebuah set komplit yang meliputi kegiatan produksi, penggunaan, sampai pembuangan). Data yang dimaksud di sini adalah nilai kuantisasi dari energi dan bahan mentah yang digunakan dan limbah serta emisi yang dikeluarkan ke alam. Secara sederhana, tahapan proses yang tergabung dalam sebuah sistem produk dapat ditunjukkan oleh Gambar 2.2.

gambar 2.2

Gambar 2.2. Tahapan Life-Cycle

 

Tahap primary resource acquistion atau material acquisition adalah tahap dimana bahan mentah diambil dari alam. Di dalam laporan ini, akuisisi bahan mentah meliputi bahan yang tidak dapat diperbarui seperti aluminium, mercury, dan tungsten.

Tahap raw material processing adalah tahap dimana bahan mentah yang diakuisisi diubah menjadi bentuk yang dapat digunakan untuk memfabrikasi sebuah produk jadi.

Tahap manufacturing and assembly adalah tahap dimana bahan yang keluar dari raw material processing diproses dan dirakit hingga menjadi barang jadi, lalu dikemas dan ditransportasikan atau didistribusikan kepada konsumen. Transpor-tasi yang dimaksud di sini boleh jadi melalui darat, laut, dan udara.

Tahap usage adalah tahap dimana produk jadi digunakan oleh konsumen. Tahap ini meliputi energi yang dibutuhkan dalam pengoperasian produk selama masa penggunaan atau umur hidup produk tersebut dan limbah lingkungan yang terjadi selama penggunaan produk.

Tahap end of life adalah tahap dimana konsumen tidak lagi membutuhkan produk tersebut. Tahap ini meliputi energi yang dibutuhkan dan limbah ling-kungan yang dihasilkan berkenaan dengan kegiatan pembuangan dan/atau kegiatan recycling. Kegiatan recycling dibutuhkan untuk mengurangi bahan mentah pada tahap raw material processing sehingga energi yang dibutuhkan untuk mendapatkan bahan mentah dari alam dan limbah serta emisi ke lingkungan pada tahap tersebut dapat dikurangi.

Setelah mendapatkan nilai-nilai kuantisasi dari setiap tahap atau dengan kata lain data LCI sudah didapatkan, maka langkah selanjutnya dalam LCA adalah Life-Cycle Impact Assessment (LCIA). Langkah ini akan membahas dampak potensial terhadap lingkungan. Jika hasil LCI fokus pada kuantisasi tahap-tahap pada Gambar 2.2, maka pada hasil LCIA adalah turunan akibat limbah dan emisi yang dikeluarkan oleh tahap-tahap tersebut.

Langkah terakhir adalah Interpretation. Langkah ini meliputi pengambilan kesimpulan dan rekomendasi berkaitan dengan hasil LCI dan LCIA. Langkah ini boleh jadi akan memerlukan tinjauan ulang terhadap langkah-langkah sebelumnya jika diperlukan.

 

  1. ANALISIS ENERGI LIFE-CYCLE

Beberapa prosedur untuk menstandarisasi data life-cycle pada laporan ini adalah sebagai berikut:

  1. Menentukan performasi produk dan mendefinisikan functional unit.
  2. Mendefinisikan tahap-tahap dalam life-cycle yang akan dianalisis.
  3. Menarik kesimpulan dari data-data LCA.

 

  • Performasi Lampu dan Functional Unit

Produk lampu LED, lampu pijar, dan CFL merepresentasikan teknologi penerangan yang berbeda, sehingga karakteristik teknologi yang terdapat tersebut berbeda-beda pula. Untuk itu, perlu ditentukan satuan yang sama agar ketiga teknologi tersebut dapat dibandingkan. Pada laporan ini, satuan yang digunakan untuk membandingkan performasi ketiga teknologi penerangan tersebut adalah lumen (untuk merepresentasikan flux cahaya yang dipancarkan oleh lampu), watt (untuk merepresentasikan daya listrik yang digunakan untuk menghasilkan flux cahaya), dan jam (untuk merepresentasikan umur hidup lampu). Performasi ketiga teknologi penerangan tersebut ditunjukkan oleh tabel 3.1.

tabel 3.1

Tabel 3.1. Data Performasi LED, Lampu Pijar, dan CFL Tahun 2011

 

Untuk membandingkan performasi ketiga teknologi tersebut, dapat dilihat dengan cara membandingkan nilai lumen dengan watt yang ditunjukkan oleh tabel 3.1 untuk ketiga teknologi. Nilai lm/watt untuk lampu pijar sesuai tabel tersebut adalah 15 lm/watt, CFL adalah 60 lm/watt, LED di tahun 2011 adalah 64 lm/watt sementara tahun 2015 diperkirakan dapat mencapai 137,93 lm/watt. Data tahun 2015 yang ditunjukkan oleh tabel 3.1 adalah data yang didapatkan dari proyeksi efisiensi yang dilakukan oleh DOE. Dengan melihat nilai lm/watt tersebut, dapat dilihat bahwa lampu LED telah mengungguli lampu pijar dan CFL di tahun 2011.

Selain melihat nilai lm/watt, dapat pula melihat lamanya umur hidup ketiga teknologi penerangan tersebut dalam jam untuk mendapatkan gambaran perfor-masi ketiga teknologi penerangan tersebut. Dari tabel 3.1 dapat dilihat bahwa lampu LED telah jauh menggungguli dua teknologi lainnya dalam hal umur hidup produk di tahun 2011 dan akan semakin jauh menggunguli dua teknologi lainnya di tahun 2015.

Untuk keperluan analisis life-cycle, diperlukan informasi tentang functional unit. Functional unit itu sendiri adalah ukuran fungsional yang digunakan saat meninjau dampak lingkungan dari beberapa sistem produk. Pada laporan ini, satuan untuk functional unit yang digunakan adalah lumen-jam karena satuan ini menggambarkan penerangan yang dapat dihasilkan oleh sebuah produk selama umur hidup produk tersebut. Pada laporan ini juga ditentukan besar functional unit adalah 20 juta lumen-jam untuk semua teknologi. Banyaknya lampu yang dibutuhkan untuk mensuplai 20 juta lumen-jam ditunjukkan oleh Gambar 3.1.

gambar 3.1

Gambar 3.1. Jumlah Lampu Yang dibutuhkan Untuk Mensuplai

20 Juta Lumen-Jam

 

Dengan melihat Gambar 3.1 dapat ditarik kesimpulan bahwa lampu LED mengungguli dua teknologi lainnya dalam hal performasi yang ditunjukkan dengan banyaknya lampu yang dibutuhkan untuk mensuplai 20 juta lumen-jam. Untuk mensuplai 20 juta lumen-jam, lampu LED hanya membutuhkan sebuah lampu, CFL membutuhkan tiga buah lampu, dan lampu pijar membutuhkan 22 lampu.

 

  • Tahap Manufacturing

Tahap Manufacturing yang akan dibahas di sini meliputi tiga tahap awal yang ditunjukkan oleh Gambar 2.2, yaitu primary resources acquisition, raw material processing, dan manufacturing/assembly. Hal ini disebabkan karena sulitnya memisahkan data pada tahap raw material processing dan tahap manufacturing/assembly.

Carnegie Mellon Article yang berjudul Reducing Environmental Burdens of Solid-State Lighting through End-of-Life Design (Hendrickson, 2010) menyatakan bahwa komponen-komponen sebuah lampu LED ditunjukkan oleh Tabel 3.2.

 

tabel 3.2

 Tabel 3.2. Komponen-komponen Lampu LED

 

Tabel 3.2 menunjukkan salah satu contoh komponen-komponen lampu LED yang telah diproduksi di tahun 2010, sementara Tabel 3.3 menunjukkan komponen-komponen lampu LED, lampu pijar, dan CFL beserta jangkauan masa totalnya dalam satuan gram.

 

Tabel 3.3. Komponen-komponen Lampu LED, Lampu Pijar, dan CFL

 

Contoh pada Tabel 3.2 menunjukkan bahwa masa total untuk membuat sebuah lampu LED mencapai 82,7 g. Hal ini dipertegas pada Tabel 3.3 yang menyatakan bahwa masa total sebuah lampu LED memiliki jangkauan antara 83-290 g. Masa total lampu LED ternyata lebih besar dibandingkan masa toal lampu pijar dan CFL yang masing-masing hanya mencapai 30-32 g dan 91-110 g. Tabel 3.2 dan Tabel 3.3 memberikan gambaran material-material apa saja yang dibutuhkan pada tahap primary resources acquisition sebelum masuk ke tahap raw material processing.

Tahap manufacturing/assembly produk lampu LED pada dasarnya sangatlah kompleks. Meski demikian, dapat disederhanakan menjadi:

  1. Substrate Production
  2. LED Die Fabrication
  3. Packaged LED Assembly

Tahap Substrate Production meliputi penyiapan susunan lapisan tipis dari silicon carbide atau sapphire untuk digunakan dalam sebuah reaktor Metal Organic Chemical Vapor Deposition (MOCVD). Hasil akhir dari Substrate Production adalah susunan lapisan tipis yang telah halus.

Tahap LED Die Fabrication diawali dengan membuat LED epi-wafer dengan menggunakan MOCVD, kemudian LED epi-wafer dibuat menjadi peralatan LED (LED die) yang siap dipak. Terakhir, substrate dihilangkan, sehingga didapatkan beberapa LED die. Setelah itu, barulah LED die siap dipak.

Tahap akhir adalah Packaged LED Assembly. LED die yang telah difabrikasi kemudian diberi housing, konektor ke listrik, diberi lapisan fosfor, dan lain sebagainya. Setelah itu, barulah LED diklasifikasikan berdasarkan perfor-masinya.

Proses manufacturing LED lebih kompleks dibandingkan dengan lampu pijar dan CFL. Ukuran lampu LED bervariasi, karena beberapa lampu LED terdiri atas sebuah LED, beberapa yang lain terdiri atas beeberapa LED. Dengan banyaknya variasi LED baik itu dari segi ukuran, bentuk, dan distribusi cahayanya, menyebabkan energi yang digunakan pada tahap manufacturing menjadi beragam. Oleh karena itu, pada laporan ini hanya tersedia data energi manufacturing yang dinyatakan dalam sebuah jangkauan tertentu. Hal ini juga diterapkan pada lampu pijar dan CFL.

Jangkauan konsumsi energi di tahap manufacturing untuk lampu LED, lampu pijar, dan CFL ditunjukkan oleh Tabel 3.4.

tabel 3.4

Tabel 3.4. Konsumsi Energi Tahap Manufacturing (MJ/20 Juta Lumen-Jam)

 

Data yang ditampilkan pada Tabel 3.4 adalah besar konsumsi energi di tahap Manufacturing yang dinyatakan dalam Mega Joule/20 Juta Lumen-Jam, dimana 20 Juta Lumen-Jam adalah functional unit yang telah ditetapkan. Dari Tabel 3.4 dapat dilihat bahwa rata-rata konsumsi energi tahap Manufacturing  di tahun 2011 untuk lampu pijar, CFL, dan lampu LED masing-masing adalah 42,2 MJ/20 Juta Lumen-Jam, 170 MJ/Lumen-Jam, dan 343 MJ/Lumen-Jam. Dengan demikian, dapat memberikan gambaran bahwa konsumsi energi untuk CFL mencapai empat kali lipat konsumsi energi untuk lampu pijar, sementara konsumsi energi untuk lampu LED mencapai delapan kali lipatnya. Konsumsi energi paling besar untuk lampu LED terjadi pada pengemasan lampu LED tersebut. Dengan demikian, pengemasan lampu LED membawa peranan penting pada total konsumsi energi tahap Manufacturing untuk lampu LED.

 

  • Tahap Pendistribusian

Tahap pendistribusian adalah tahap dimana produk-produk lampu yang telah dikemas, didistribusikan dari pabrik pembuatannya menuju outlet-outlet yang akan menjual produk-produk tersebut. Dengan demikian, tahap ini adalah tahap di antara Manufacturing/Assembly dengan Usage. Data yang menyatakan konsumsi energi di tahap ini sangatlah terbatas, sehingga di laporan ini, tidak ada standarisasi dalam penentuan konsumsi energi di tahap ini.

Untuk mendapatkan besar konsumsi energi di tahap ini, pertama perlu ditentukan dahulu tempat asal atau tempat diproduksinya produk-produk lampu tersebut. Kedua, energi dihitung berdasarkan jarak, jenis alat transportasinya, dan estimasi kapasitas alat tersebut. Terakhir, energi tersebut diubah ke dalam functional unit yang telah ditetapkan.

Untuk penyederhanaan, tempat produksi lampu pijar hanya ditentukan dari dua tempat, yaitu Northeastern U.S. atau Shanghai, China. Oleh karena itu, konsumsi energi transportasi untuk lampu pijar adalah kombinasi dari dua tempat tersebut. Jika ditinjau dari Northeastern U.S., produk lampu pijar akan didistribusikan menggunakan truk ke outlet-outlet di Washington DC (karena laporan ini hanya meninjau produk-produk lampu pijar, CFL dan lampu LED di U.S.), sementara jika ditinjau dari Shanghai, China, diasumsikan produk lampu didistribusikan menggunakan kapal dari Pelabuhan Shanghai menuju Pelabuhan Los Angeles. Kemudian barulah didistribusikan menggunakan truk keoutle-outlet di Washington DC.

China adalah manufacturer CFL terbesar di dunia (USAID, 2008), oleh karena itu, tempat produksi CFL diasumsikan di Shanghai, China. Dengan demi-kian, cara pendistribusiannya mirip dengan pendistribusian lampu pijar yang berasal dari Shanghai, China.

Kegiatan manufacture lampu LED terkonsentrasi di Asia (Young, 2011), oleh karena itu untuk penyederhanaan produksi LED lengkap ditentukan di Taiwan kemudian dirangkai di Taiwan atau di Southeast U.S. Sehingga konsumsi energi pendistribusian lampu LED akan merupakan kombinasi dari dua tempat tersebut.

Tabel 3.5 menunjukkan konsumsi energi pendistribusian/transportasi untuk lampu LED,lampu pijar, dan CFL per kilogram dan per functional unit yang telah ditetapkan yaitu 20 Juta Lumen-Jam.

tabel 3.5

Tabel 3.5. Konsumsi Energi Tahap Pendistribusian

Dari Tabel 3.5 konsumsi energi transportasi rata-rata terkecil adalah lampu pijar, disusul CFL, kemudian lampu LED. Perbedaan konsumsi energi ini berdasarkan perbedaan tempat dimana lampu-lampu tersebut dimanufacture. Untuk lampu LED yang diproduksi tahun 2015 diestimasikan konsumsi energi transportasi rata-ratanya menurun dari tahun 2011. Hal ini berkaitan dengan umur hidup lampu LED yang semakin panjang, sehingga mengurangi pendistribusian lampu di tahun itu dan secara otomais akan mengurangi konsumsi energi di bidang transportasi di tahun itu.

  • Tahap Penggunaan

Konsumsi energi di tahap penggunaan adalah konsumsi energi listrik untuk menghasilkan cahaya. Perhitungan energi life-cycle di tahap penggunaan ini merepresentasikan energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan 20 Juta Lumen-Jam. Oleh karena itu, perhitungan konsumsi energi life-cycle untuk lampu pijar di tahap penggunaan selama umur hidupnya dilakukan pada 22 lampu pijar, tiga buah untuk CFL, dan sebuah lampu LED. Tabel 3.6 menunjukkan besar konsumsi energi di tahap penggunaan untuk lampu LED, lampu pijar, dan CFL.

tabel 3.6

Tabel 3.6. Konsumsi Energi Di Tahap Penggunaan

Tabel 3.6 menunjukkan bahwa lampu pijar mengkonsumsi energi paling besar di tahap penggunaan selama umur hidupnya, disusul CFL, kemudian lampu LED. Hal ini tentulah berkaitan dengan nilai lm/watt yang merupakan perban-dingan antara lumens dengan watt. Diperkirakan pada tahun 2015, lampu LED akan mengkonsumsi energi setengah kali dibandingkan lampu LED di tahun 2011.

 

  • Total Konsumsi Energi

Total konsumsi energi life-cycle adalah total energi yang dikonsumsi dari keseluruhan tahap life-cycle. Total konsumsi energi untuk lampu LED ditun-jukkan oleh Gambar 3.2. Dari gambar tersebut, dapat dilihat bahwa konsumsi energi di tahap penggunaan membawa andil sangat besar dalam perhitungan total konsumsi energi life-cycle.

gambar 3.2

Gambar 3.2. Total Konsumsi energi Life-Cycle Lampu LED

(MJ/20 Juta Lumen-Jam)

 

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, besar konsumsi energi dinyatakan dalam suatu jangkauan tertentu. Hal ini berkaitan dengan minimnya data yang didapatkan untuk menggambarkan besar konsumsi energi life-cycle, misalnya saja minimnya data konsumsi energi di tahap Manufacturing karena dari pihak manufacturer-nya tidak menyediakan data yang komplit dengan alasan privasi. Gambar 3.3 menunjukkan total konsumsi energi life-cycle untuk lampu LED, lampu pijar, dan CFL per functional unit.

gambar 3.3

Gambar 3.3. Total Konsumsi Energi Life-Cycle

(MJ/20 Juta Lumen-Jam)

Dari Gambar 3.3 tampak bahwa untuk menghasilkan 20 Juta Lumen-Jam, lampu pijar membutuhkan energi paling besar diantara semuanya. Sementara LED mengkonsumsi energi paling sedikit di antara semuanya. Di tahun 2015, lampu LED mengkonsumsi energi lebih sedikit lagi, sekitar setengah kali konsumsi energi lampu LED di tahun 2011. Dari gambar tersebut pula tampak bahwa konsumsi energi paling besar terjadi di tahap penggunaan baik itu untuk lampu LED, lampu pijar, dan CFL. Tabel 3.7 menunjukkan konsumsi energi life-cycle untuk ketiga teknologi penerangan yang dinyatakan dalam angka.

tabel 3.7

Tabel 3.7. Konsumsi Energi Life-Cycle Untuk Ketiga Teknologi Penerangan

(MJ/20 Juta Lumen-Jam)

 

Besar konsumsi energi sepanjang life-cycle untuk lampu LED dan CFL sekitar 3.900 MJ/20 Juta Lumen-Jam, sementara lampu pijar mencapai 15.100 MJ/20 Juta Lumen-Jam. Hal ini berarti konsumsi energi sepanjang life-cycle untuk lmapu pijar adalah satu setengah kali dari konsumsi energi untuk lampu LED dan CFL.

 

  1. DAMPAK LINGKUNGAN

Tiga teknologi penerangan yang ditinjau, yaitu lampu LED, lampu pijar, dan CFL, memiliki dampak lingkungan yang berbeda-beda. Berdasarkan laporan yang disusun oleh DOE, tidak ada data mengenai dampak lingkungan yang disebabkan oleh ketiga teknologi penerangan tersebut di tahun 2011. Meski demikian, DOE mencantumkan data dampak lingkungan untuk ketiga teknologi penerangan tersebut di tahun 2012. Gambar 4.1 menunjukkan dampak lingkungan yang disebabkan oleh ketiga teknologi penerangan tersebut.

gambar 4.1

Gambar 4.1 

 

Gambar 4.1 memang tidak mencantumkan kuantisasi dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh ketiga teknologi penerangan tersebut, tetapi dapat dilihat bahwa lampu pijar menimbulkan dampak lingkungan yang paling dibanding dua teknologi penerangan lainnya di berbagai aspek. Lampu LED memiliki dampak lingkungan yang paling rendah diantara ketiganya, kecuali untuk lampu LED di tahun 2012 untuk aspek Hazardous Waste Landfill. DOE mencatat bahwa dampak lingkungan lampu LED di tahun 2012 mengungguli CFL untuk aspek tersebut. Hal ini berkaitan dengan material yang digunakan untuk menyusun lampu LED dan CFL. Meski demikian, lampu LED di tahun 2017 diprediksikan akan menyebabkan dampak lingkungan yang lebih rendah dibanding lampu LED di tahun 2012.

 

  1. KESIMPULAN

Lampu LED adalah teknologi penerangan yang paling sedikit mengkon-sumsi energi sepanjang life-cycle-nya. Dengan demikian, teknologi lampu LED berpotensi besar untuk penghematan energi di sektor penerangan. Konsumsi energi paling besar sepanjang life-cycle terjadi pada saat tahap penggunaan, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Gambar 3.3. Hal ini berkaitan dengan performasi setiap teknologi penerangan yang ditinjau.

Ketidakpastian yang paling besar dalam menentukan besar konsumsi energi sepanjang life-cycle adalah pada tahap Manufacturing yang meliputi Primary Resources Acquisition, Raw Material Processing, dan Manufacturing/Assembly. Karena hal itulah besar konsumsi energi dinyatakan dalam suatu jangkauan tersentu.

Ditinjau dari dampak lingkungan yang disebabkan oleh ketiga teknologi penerangan yang ditinjau, lampu LED adalah teknologi penerangan yang memiliki dampak lingkungan paling sedikit di antara ketiganya. Dengan demi-kian, dapat disimpulkan bahwa lampu LED adalah teknologi penerangan yang paling ramah lingkungan di antara ketiganya.

Jawaban Seorang Anak (Penulis)

Rumit,,
Ayah Jawa…
Ibu Padang…
Lahirnya di Lampung?

Sungguh Perpaduan yang indah,,
walau menimbulkan pertanyaan kecil tentangku…

tetapi akhirnya kudapat jawaban itu…

terbesit saat kutulis candaan atau tuntutan ini…

Yang ada di diriku, hanyalah pemuda bangsa yang harus membangun negeri ini secara menyeluruh…
bukan hanya tempat kelahiranku,
bukan pula tempat ayahku dilahirkan…
dan tak hanya juga tempat ibuku pertama kali muncul di dunia…

aku, kau,dia, kalian, dan semuanya…
sebelum kita lahir kita telah terpilih,
dan saat kita lahir…itu menjadi kenyataan..

dan saat kita telah bisa,
negeri ini membutuhkan kita…

semangat!!

INDONESIA!!!!!